Subscribe

Your Ads Here
73745675015091643

makalah perbuatan dan sifat tuhan

BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

Pada pembahasan yang berkaitan dengan pengenalan Tuhan, kita akan banyak bertemu dengan tiga istilah seperti asma (nama-nama) Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan perbuatan-perbuatan Tuhan. Poin yang perlu mendapatkan perhatian di sini adalah bahwa istilah-istilah ini pada cabang-cabang keilmuan yang berbeda kadangkala muncul dengan arti yang berbeda pula, dan tidak senantiasa memiliki satu makna yang konstan. Karena pembahasan kita berada pada wilayah ilmu Kalam (teologi), maka yang penting bagi kita adalah makna istilah sebagaimana yang dimaksud oleh para teolog atau mutakallim. Dalam literatur ilmu kalam, istilah "sifat Ilahi" lebih banyak digunakan. Istilah ini terkadang digunakan sama dengan asma (nama-nama). Kata-kata seperti 'âlim, 'alîm", qâdir, hayyu, dan murîd dan sebagainya, dikategorikan sebagai sifat dan asma Ilahi. Kadangkala terdapat pula perbedaan antara sifat dan asma Tuhan ini dimana berdasarkan hal tersebut, kata-kata semacam 'ilm, kodrat, hayât dan sebagainya, adalah merupakan sifat-sifat Tuhan sedangkan kata-kata seperti 'âlim, 'alîm, qâdir, hayyu dan sebagainya merupakan asma Tuhan.
Bisa dikatakan bahwa di antara semua itu terdapat pula istilah lain dimana maksud dari ism (nama) adalah kata yang menunjukkan nama khusus Tuhan, sedangkan sifat adalah kata yang menghikayatkan sifat-sifat Tuhan. Berdasarkan istilah ini, jumlah asma Tuhan menjadi sangat sedikit dan hanya berkisar pada kata-kata semacam Allah dalam bahasa Arab dan Khudâ dalam bahasa Persia (atau Tuhan dalam bahasa Indonesia, red), akan tetapi sifat-sifat Tuhan sangat banyak dan kata-kata semacam 'âlim, hayyu, murîd, qâdir, dan sebagainya, seluruhnya termasuk dalam sifat-sifat Tuhan.
Walhasil, yang dimaksud dengan "sifat" pada pembahasan kita kali ini adalah kata yang dinisbahkan kepada Tuhan dan terpredikasi pada dzat Ilahi.









BAB II
PEMBAHASAN

A. Sifat Allah

Ilmu Tauhid (Aqidah/Iman) adalah hal yang paling penting yang harus dipelajari setiap Muslim. Bahkan harus dipelajari lebih dulu sebelum kita mempelajari/melakukan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Bagaimana kita bisa tergerak untuk melakukan ibadah jika dalam hati kita tidak ada iman? Bagaimana kita bisa ikhlas dan khusyuk beribadah jika kita tidak tahu/tidak yakin akan Allah dan sifat-sifatNya?Pada Ilmu Tauhid ini diasumsikan orang belum memiliki iman yang kuat kepada Allah, apalagi Al Qur’an. Oleh karena itu dalilnya pun yang pertama dipakai adalah dalil Akal/Logika (Aqli). Setelah beriman, baru dalil Naqli (Al Qur’an) dikemukakan. Pada ilmu tentang Iman, maka Akal harus digunakan. Ada pun jika sudah beriman dan mengenai fiqih misalnya kenapa kalau kentut bukan (maaf) pantat yang dibasuh, tapi harus mencuci anggota badan lainnya, maka dalil Naqli (Al Qur’an dan Hadits) yang harus dipakai. Pada Tauhid, Aqli harus dipakai. Pada Fiqih, Naqli yang dipakai.
Karena itulah Allah dalam Al Qur’an juga kerap menggunakan dalil Akal/Logika kepada kaum yang kafir atau imannya masih lemah. Hanya orang yang berakal saja yang dapat pelajaran.
“…Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” [Ali ‘Imran 7]
Allah juga kerap memakai ilmu pengetahuan seperti penciptaan langit dan bumi sebagai tanda bagi orang yang berakal:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” [Ali ‘Imran 190]
“dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” [Al Jaatsiyah 5]
Lihat ayat Al Waaqi’ah ayat 58 hingga 72. Allah menggunakan logika kepada manusia (termasuk kita yang membaca surat tersebut) agar menggunakan akal kita
“Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya?” [Al Waaqi’ah 58-59]
“Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kamikah yang menjadikannya?” [Al Waaqi’ah 72]
Allah menggunakan logika dan perumpamaan-perumpamaan (Tamtsil/Ibarat) agar orang yang berakal/berilmu meski dia belum beriman jadi berfikir dan beriman kepada Allah.
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” [Al ‘Ankabuut 43]
Baca juga ayat Al Hasyr 21, Al Kahfi 45, Al Kahfi 54, Ar Ruum 58, Az Zumar 27, dsb. Ada 58 ayat lebih tentang perumpamaan yang dikenal sebagai logika analog
Contoh perumpamaan itu adalah ayat Al A’raaf 176, Al ‘Ankabuut 41, Al Baqarah 17, Al Baqarah 171, Al Baqarah 261, Al Baqarah 264, dan sebagainya.
Keliru sekali jika ada orang yang menolak sama sekali penggunaan dalil Akal atau Logika apalagi jika itu ditujukan pada orang yang belum atau masih tipis imannya. Karena itu, banyak orang-orang yang dulunya kafir, akhirnya masuk Islam. Bayangkan, bagaimana mungkin orang mau mempercayai Al Qur’an (firman Allah) jika kepada Allah saja dia belum beriman? Karena itulah pendekatan akal digunakan.
Berbagai firman Allah seperti Afalaa Ta’qiluun, La’allakum Tatafakkaruun, Ulil Albaab merupakan perintah Allah pada manusia untuk menggunakan akal atau fikiran termasuk dalam beragama.
Sifat Allah itu banyak/tidak terhitung. Namun seandainya ditulis 1 juta, 1 milyar, atau 1 trilyun, tentu kita tidak akan sanggup mempelajarinya bukan? Seorang ulama menulis 20 sifat yang wajib (artinya harus ada) pada Tuhan/Allah. Jika tidak memiliki sifat itu, berarti dia bukan Tuhan atau Allah. Minimal kita bisa memahami dan meyakini 13 dari sifat tersebut agar tidak tersesat. Setelah itu kita bisa mempelajari sifat Allah lainnya dalam Ama’ul Husna (99 Nama Allah yang Baik). Sifat-sifat itu adalah:
1. Wujud (ada) 2. Qidam (Terdahulu) 3. Baqo’ (Kekal) 4. Mukhollafatuhu lil hawaadits (Tidak Serupa dengan MakhlukNya) 5. Qiyamuhu Binafsihi (Berdiri dengan sendirinya) 6. Wahdaaniyah (Esa) 7. Qudrat (Kuasa) 8. Iroodah (Berkehendak) 9. Ilmu (Mengetahui) 10. Hayaat (Hidup) 11. Sama’ (Mendengar) 12. Bashor (Melihat)
13. Kalam 14. Qoodirun: Yang Memiliki sifat Qudrat 15. Muriidun: Yang Memiliki Sifat Iroodah 16. ‘Aalimun: Yang Mempunyai Ilmu 17. Hayyun: yang Hidup 18. Samii’un: Yang Mendengar 19. Bashiirun: Yang Melihat 20. Mutakallimun: Yang Berkata-kata


B. PERBUATAN TUHAN MENURUT BEBERAPA ALIRAN

1. Aliran Mu’tazilah
Mereka mengatakan kewajiban Tuhan adalah :
a. Kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia.
Mu’tazilah mengatakan ini karena bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan, Tuhan akan bersifat tidak adil kalau ia memberi beban yang terlalu berat kepada manusia.
b. Kewajiban Mengirimkan Rasul.
Mu’tazilah mengatakan tanpa Rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
c. Kewajiban Menepati Janji (Al-Wa’d) dan Ancaman (Al-Wa’id).
Janji dan ancaman merupakan dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia, oleh karena itu menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
2. Aliran Asy’ariyah
Mereka mngatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban seperti yang dikatakan Mu’tazilah, mereka mengatakan bahwa tuhan dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk. Seperti yang dikatakan Al-Ghazali, perbuatan-perbutaan Tuhan bersifat tidak wajib (ja’iz) dan tidak satupun darinya mempunyai sifat wajib.
3. Aliran Maturidiyah
Ada 2 pandangan yaitu :
a. Maturidiyah Samarkand mengatakan bahwa Perbuatan Tuhan hanyalah mengangkut hal-hal yang baik saja, demikian juga pengiriman Rasul adalah kewajiban Tuhan.
b. Maturidiyah Bukhara mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban, namun mereka berkeyakinan seperti yang dijelaskan oleh Badzawi Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberikan upah pahala bagi yang berbuat baik dan sebaliknya, dan mengenai pengiriman Rasul bukan merupakan kewajiban bagi Tuhan hanya bersifat mungkin saja.

C. MEMAHAMI SIFAT DAN PERBUATAN ALLAH
“ Kami berfirman : “ Turunlah kamu semua dari surga itu .Kemudian jika datang petunjuk Ku kepadamu ,maka barang siapa yang mengikuti petunjuk Ku ,niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak bersedih hati “ . Qs Al Baqarah ; 38 .
“ Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang – orang yg mengikuti keridhoan Nya ke jalan keselamatan dan Allah mengeluarkan orang – orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yg terang benderang dgn seizin Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus ”.Qs Al Maidah : 16. Al Qur’an adalah firman – firman Allah Yang Maha Gaib didalamnya berisikan ketetapan – ketetapan Allah bagi semua ciptaan Nya, sebagai bukti bahwa Dia lah dzat Yang Maha Esa lagi Maha Mengetahui. Semua kejadian – kejadian pada umat manusia sejak diciptakan hingga kelak kiamat telah diberitakan di dalamnya dan semua itu telah menjadi kehendak Nya. Inilah mengapa diperintahkan kepada hambanya yang bertaqwa untuk menjadikan Al qur’an itu sebagai petunjuk (Qs Al Baqarah ; 2) dan memutuskan setiap perkara yang terjadi pada umat Islam berdasarkan kepadanya (Al Qur’an) “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik “.Qs Al Maidah ; 49.
Tidak ada seorangpun di bumi dan di langit yang mengetahui gaib selain Allah (Qs An Naml ; 65) dan hanya kepada Rasul gaib itu ditunjukkan(Qs Al Jin ; 26, 27, 28). Itulah mengapa tidak ada yang dapat mengerti, memahami dan menjelaskan ayat – ayat Al Qur’an selain seorang Utusan Allah “ Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar – benar wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul yang mulia “.Qs Al Haqqah ; 40. Utusan Allah bagi umat Islam yaitu: Nabi “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al Quran karena hendak cepat-cepat menguasainya“.” Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya di dadamu dan membuatmu pandai membacanya”.“ Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu “.” Kemudian atas tanggungan Kamilah penjelasannya”.Qs Al Qiyamah ; 16 –19 dan Rasul “Allah menganugerahkan Al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran “.Qs Al Baqarah ; 269.
Kehendak Allah manusia tidak akan dapat mengambil pelajaran dari Al Qur’an “ Maka barangsiapa menghendaki niscaya dia mengambil pelajaran dari padanya (Al Quran )”. “Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran dari padanya kecuali Allah menghendakinya “.Qs Al Mudatsir ; 55, 56. Itulah mengapa diperintahkan bagi mereka yang beriman untuk” Orang-orang yang telah Kami berikan Al kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, Maka mereka Itulah orang-orang yang rugi “.Qs Al Baqarah ; 121. Serta untuk “ Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu ,serta ingatlah selalu dan amalkan apa yang tersebut di dalamnya supaya kamu menjadi orang – orang yang bertaqwa “.Qs Al A’Raf ; 171. Sebab dengan membaca Al Qur’an dengan bacaan yang sebenar – benarnya (apa adanya ayat) dan beriman (yakin dan percaya) akan kebenaran ayat – ayat tersebut serta berpegang teguh dan mengamalkannya maka apabila telah datang kepada mereka seorang utusan Allah membacakan ayat – ayat Al Qur’an mereka akan beriman kepadanya (Rasul). Allah berfirman “Hai anak – anak Adam ,jika datang kepadamu Rasul – Rasul dari pada kamu yang menceritakan kepadamu ayat – ayat Ku ,maka barang siapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati ”.Qs Al A’raf ; 35
“Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, janganlah kamu bersedih hati karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah”. “.Dan sesungguhnya telah didustakan rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat Allah “.Qs Al An’am ; 33, 34,
TAKDIR ALLAH
“ Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya dan pada sisi Kami ada kitab yg membicarakan kebenaran dan mereka tidak dianiaya “.Qs Al Mu’minuun ; 62.
“ Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri “.Qs Yunus ; 44. Apabila manusia ditimpa suatu musibah maka ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri “.Qs Asy Syura ; 30. Melihat firman Allah tersebut jelaslah bahwa setiap musibah dan bencana yang terjadi pada manusia adalah akibat kesalahan /kekafiran manusia itu sendiri. Dan semua sifat serta perbuatan Allah itu telah dijelaskan di dalam kitab Al Qur’an. Penyesatan dari para ulama dengan mengatakan azab Allah itu sebagai cobaan dari Allah menjadikan umat Islam semakin terpuruk dalam kekafirannya,“Dan sekali – kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan tanda –tanda kekuasaan Kami ,melainkan karena tanda –tanda itu telah didustakan oleh orang – orang yang terdahulu…”.Qs Al Isra’ ; 59. Allah menjelaskan tentang apakah azab /hukuman, cobaan dan ujian manusia di dalam firman Nya :
1 .Azab /hukuman :
“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat di dunia sebelum azab yg lebih besar di akhirat ;supaya mereka segera bertobat…”.Qs Sajjdah ; 21.
“Bagi mereka azab dalam kehidupan dunia dan Sesungguhnya azab akhirat adalah lebih keras dan tak ada bagi mereka seorang pelindungpun dari (azab) Allah “.Qs Ar Rad ; 34.
Macam – macam azab di dunia :
1. Penyakit yang berbahaya dan mematikan adalah azab Allah bagi mereka yang kafir “Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka dan pengelihatan mereka ditutup .Dan bagi mereka siksa yang amat berat“.Qs Al Baqarah ; 7 ,dalam istilah medis disebut mati rasa (lumpuh) yang kemudian akan meningkat menjadi,” Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya…”.Qs Al Baqarah ; 10, hati sudah tidak dapat lagi menjadi filter yang baik bagi darah sebelum ke otak (stroke, aids, diabet, flu babi dll yg berhub dgn darah).
2. Kecelakaan waktu dalam perjalanan “ atau Allah mengazab mereka di waktu mereka dalam perjalanan ,maka sekali –kali mereka tidak dapat menolak azab itu “ .Qs An Nahl ; 46 .
3. Banjir, kebakaran, kekacauan “ maka apakah orang – orang yang membuat makar yang jahat itu ,merasa aman dari bencana ditenggelamkan bumi oleh Allah bersama mereka atau datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari “ .“atau Allah mengazab mereka dengan berangsur – angsur hingga binasa…”.Qs An Nahl ; 45, 47.
4. Gempa bumi dan angin topan /puting beliung /badai ”Maka apakah kamu merasa aman dari hukuman Tuhan yang menjungkir balikkan sebagian daratan bersama kamu atau Dia meniupkan angin keras yang membawa batu – batu kecil dan kamu tidak akan mendapat seorang pelindungpun bagi kamu“ .“Atau apakah kamu merasa aman dari dikembalikan-Nya kamu ke laut sekali lagi ,lalu Dia meniupkan atas kamu angin taupan dan ditenggelamkan-Nya kamu disebabkan kekafiranmu. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun dalam hal ini terhadap siksaan kami “.Qs Al Isra’ ; 68 ,69.
Hanya dengan beriman dan bertaqwa kepada Allah (Al Qur’an) yang dapat menyelamatkan manusia dari azab Allah di dunia dan di akhirat (Qs Yunus ; 57).
2 .Cobaan :
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan , kelaparan , kekurangan harta ,jiwa dan buah –buahan… ”.Qs Al Baqarah ; 155.
3 .Ujian :
“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu ;Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui “.Qs Al Baqarah ; 216, Allah menguji hambanya yang beriman seperti halnya Sulaiman dan Ayub sebelum mereka diangkat menjadi Nabi (Qs Sad ; 34).
Sabar, pasrah dan iklas adalah kunci dalam menghadapi setiap cobaan dan ujian.
Ruh /darah adalah kesempurnaan Allah yang ada pada diri manusia (38 ; 72). Jiwa /hati yang telah bersumpah untuk mentauqidkan Nya (7 ; 172). Nyawa /otak yang menentukan kemana jalan hidup manusia dan syaitan akan selalu berusaha untuk menyesatkannya (38 ; 82).

D. Baik dan Buruk dalam Perbuatan Tuhan (Perspektif Umum Perbuatan Tuhan)
Setelah kita membahas bagian terpenting dalam masalah sifat dzat dan perbuatan Tuhan, sebelum membahas perbuatan Tuhan, terlebih dahulu kita kemukakan kerangka umum pembahasan. Sebagaimana dalam pembahasan sifat Tuhan, pembahasan ini juga akan kita bagi dalam dua tahapan secara umum, pertama, pembahasan perbuatan Tuhan secara umum, kedua, pembahasan secara khusus yang berkaitan dengan salah satu perbuatan Tuhan.
Pada tahap pertama, kita bisa pahami bahwa tidak termasuk di dalamnya perbuatan yang dikhususkan kepada Tuhan semata, tetapi secara umum berkaitan dengan hukum-hukum perbuatan itu sendiri. Sementara dalam tahapan kedua berhubungan dengan perbuatan khusus seperti perbuatan memberikan petunjuk (hidayah) dan menyesatkan (dhalâlah) Tuhan.
Dengan merujuk kembali pada pembahasan yang sudah kita lakukan dalam masalah pengetahuan ketuhanan ini, akan jelas bahwa sebagian dari pembahasan-pembahasan lalu, dari satu sisi juga telah memuat masalah-masalah perbuatan Ilahi. Sebagai contoh, pembahasan tauhid perbuatan Tuhan dan kaitannnya dengan perbuatan aktif Tuhan dan perbuatan aktif makhluk-Nya, secara umum berada dalam lingkup pembahasan perbuatan Tuhan. Demikian juga, pembahasan tentang sifat-sifat perbuatan, pada dasarnya berhubungan dengan kelompok kedua, yakni pembahasan khusus atas perbuatan Tuhan.
Sebagian dari pembahasan tentang perbuatan Tuhan telah kita bahas, karena itu tidak akan dibahas lagi di sini. Di sisi lain, ketika merujuk kepada sumber asli ilmu kalam kita saksikan bahwa umumnya pembahasan-pembahasan yang diuraikan berada dalam kelompok pertama, yaitu pembahasan perbuatan Tuhan secara umum, sedangkan penguraian pembahasan yang dikhususkan berkaitan dengan perbuatan khusus Tuhan, hanya sedikit dibahas. Berdasarkan hal tersebut, dan dengan memperhatikan keterbatasan tulisan ini maka kita juga mencukupkan diri dengan mengungkapkan begian terpenting dari pembahasan perbuatan Tuhan secara umum.
Kebaikan dan Keburukan dalam Penilaian Akal
Sebagai pendahuluan, dipandang perlu untuk membahas terlebih dahulu masalah kebaikan dan keburukan dalam penilaian akal sebagai mukadimah pembahasan tentang perbuatan Tuhan. Karena sebagaimana yang akan Anda saksikan nanti, posisi secara umum pembahasan-pembahasan mendatang, berada di seputar pandangan yang kami pilih dalam masalah ini.
Kebaikan dan keburukan dalam penilaian akal (husn wa qubh ‘aqli) merupakan salah satu pembahasan klasik dan rumit dalam teologi Islam dan menjadi diskusi yang berkepanjangan dikalangan para ilmuan. Para teolog Imamiah dan Mu’tazilah merupakan pendukung konsep kebaikan dan keburukan dalam penilaian akal (husn wa qubh ‘aqli). Berdasarkan pandangan ini, akal bisa menghukumi mana sebuah perbuatan yang baik dan buruk dengan tanpa bantuan dan bimbingan syariat. Menurut teori ini, Tuhan tidak mungkin melakukan perbuatan yang tidak baik dan buruk. Sementara Asy’ariah mengatakan bahwa kemampuan akal dalam menentukan baik dan buruknya sebuah perbuatan tidak memiliki independensi sama sekali, dan meyakini bahwa yang ada hanyanya baik dan buruk yang ditentukan agama. Dalam pandangannya, perbuatan dikatakan baik apabila dihukumi oleh syariat adalah baik dan perbuatan disebut buruk jika dikatakan oleh syariat ialah buruk. Akal manusia dalam konteks ini, tidak mampu mendeteksi dan menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan, bahkan yang menjadi syarat keutamaan suatu perbuatan tersebut adalah kebergantungannya pada perintah dan larangan Tuhan.
Sebelum kita menjelaskan argumentasi kedua kelompok tersebut alangkah baiknya kalau kita lebih dahulu memberikan definisi tentang kebaikan dan keburukan serta aplikasinya sehingga kita bisa mendudukkan letak perselisihan dan perbedaan kedua kelompok itu dengan tepat. Dengan ini, pembahasan akan lebih jelas dan gamblang.
Makna Kebaikan dan Keburukan serta Aplikasinya
Sebenarnya makna kebaikan dan keburukan itu sudah sangat jelas bagi setiap orang dan tidak perlu diberikan definisi, yang penting di sini adalah penggolongan pengaplikasian kedua makna itu sehingga menjadi jelas hubungan pembahasan kebaikan dan keburukan perspektif akal dengan bagian yang mana dari penggunaan makna-makna tersebut. Dengan menelusuri item-item penggunaan dua kata tersebut, maka kita dapat mengidentifikasi empat penggunaan asli dari makna keduanya:
1. Terkadang kebaikan dan keburukan bermakna kesempurnaan (kamâl) dan kekurangan (naqsh) yang berhubungan dengan jiwa manusia. Dalam pengaplikasian ini, termasuk seluruh perbuatan manusia, apakah perbuatan itu berdasarkan ikhtiar manusia ataukah di luar ikhtiar manusia seperti sifat dasar manusia. Sebagai contoh dikatakan, ”Pengetahuan itu ialah suatu kebaikan” atau “Belajar ilmu pengetahuan merupakan sebuah perbuatan baik”, dan juga dikatakan, “Kebodohan itu adalah suatu keburukan” atau “Meninggalkan pencarian ilmu merupakan suatu perbuatan buruk”; karena pengetahuan dan mencari ilmu pengetahuan merupakan sifat kesempurnaan bagi jiwa manusia, sementera kebodohan dan meninggalkan pencarian ilmu merupakan kekurangan baginya. Berdasarkan hal tersebut, maka sifat-sifat seperti berani dan dermawan merupakan bagian dari sifat-sifat baik, sementara sifat penakut dan kikir termasuk dari sifat-sifat jelek. Yakni, yang menjadi tolok ukur adalah kesempurnaan dan ketidaksempurnaan pada jiwa manusia.
2. Terkadang kebaikan dan keburukan memiliki makna yang sesuai dengan tabiat jiwa manusia, dalam pengaplikasian ini segala sesuatu yang sesuai dengan tabiat jiwa manusia dan terdapat kelezatan serta kenikmatan di dalamnya, maka hal ini bisa disebut dengan kebaikan dan segala sesuatu yang tidak sesuai dengan tabiat jiwa manusia akan disebut keburukan. Penggunaan makna kebaikan dan keburukan ini yang juga berhubungan dengan perbuatan ikhtiar manusia dan perbuatan yang diluar ikhtiarnya. Berasaskan hal ini, sebagai contoh suara yang indah ketika didengarkan adalah kebaikan dan pemandangan yang buruk ketika disaksikan adalah keburukan.
3. Terkadang aplikasi makna kebaikan dan keburukan berdasarkan kemaslahatan dan ke-mafsadah-an (tak berfaedah) sebuah perbuatan atau sesuatu, dan terkadang maslahat dan mafsadah berhubungan dengan unsur individu atau berhubungan dengan unsur masyarakat. Sebagai contoh, setiap peserta yang menang dalam pertandingan adalah maslahat baginya (bagi peserta yang menang itu), akan tetapi kontradiksi dengan kemaslahatan para peserta lain yang kalah dalam pertandingan. Sebaliknya, menyebarkan keadilan dalam masyarakat merupakan suatu perkara yang dapat dipandang sebagai maslahat bagi seluruh masyarakat. Dengan demikian, terkadang kita menggunakan kata baik dan buruk berdasarkan maslahat dan mafsadah yang ada dalam perbuatan manusia atau sesuatu. Sebagai misal, dikatakan, “Meminum obat yang pahit bagi orang sakit adalah kebaikan”, sebab demi kemaslahatan dan keselamatan jiwanya.
4. Aplikasi asli terakhir dari makna baik dan buruk adalah pada tinjauan kesesuaian dan ketidaksesuaian dengan perbuatan ikhtiar manusia. Dalam aplikasi ini, perbuatan yang menurut akal manusia layak untuk dilakukan dan pelakunya mendapatkan pujian, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang baik. Sebaliknya, perbuatan yang semestinya ditinggalkan dan pelaku perbuatan tersebut menjadi tercela, maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan yang buruk. Berdasarkan pandangan ini, “Keadilan itu adalah sebuah kebaikan” dan “Kezaliman itu ialah sebuah keburukan”, yaitu akal memandang pengejewantahan keadilan itu adalah layak dan baik serta pelakunya (orang adil) berhak mendapatkan pujian dan sanjungan, sementara kezaliman itu merupakan perbuatan yang tidak layak dan orang yang melakukannya seharusnya mendapatkan celaan. Perlu diketahui bahwa akal yang dimaksud di sini adalah akal praktis, yang obyeknya adalah perbuatan ikhtiar manusia dari segi kelayakan (keharusan) untuk dilaksanakan atau kelayakan (keharusan) untuk ditinggalkan.Dasar pandangan ini terbagi menjadi dua kelompok.
Ketika kita mencoba memikirkan pengaplikasian keempat makna tersebut maka akan sangat jelas perbedaannya. Contoh, aplikasi keempat -berbeda dengan ketiga makna yang lain- yang hanya dikhususkan untuk perbuatan manusia, sementara sifat-sifat manusia dan obyek-obyek luarnya tidak termasuk. Demikian pula dengan aplikasi ketiga makna yang pertama, masing-masing memiliki spesifikasi sendiri-sendiri tentang hal dan perkara manusia, karena standar mereka secara berurutan adalah kesempurnaan dan kekurangan jiwa, kesesuaian dan ketidaksesuaian dengan jiwa manusia, dan kemaslahatan serta ke-mafsadah-an dalam individu atau masyarakat. Tetapi pada makna yang keempat tidak terdapat keterbatasan seperti itu, oleh karena itu, dapat meliputi perbuatan-perbuatan pelaku selain manusia dan bahkan perbuatan-perbuatan Tuhan.
Letak Perbedaan ‘Adliah dan Asy’ariah
Setelah menjelaskan letak perbedaan aplikasi makna baik dan buruk, maka kita seharusnya memposisikan letak perbedaan antara kelompok ‘Adliah (Syiah Imamiah dan Mu’tazilah) dan Asy’ariah dalam kaitannya dengan keempat makna tersebut.
Dengan merefleksikan keempat aplikasi makna baik dan buruk serta spesifikasinya masing-masing dan berdasarkan konteks pembahasan masalah kebaikan dan keburukan yang bersumber dari akal, maka menjadi jelaslah bahwa letak perbedaan pendapat antara Asy’ariah dan ‘Adliah berada pada aplikasi makna keempat. Sementara ketiga makna yang pertama, merupakan masalah takwini (hukum alam) dan tidak bisa diingkari, yakni jiwa manusia secara takwini memiliki kesempurnaan dan kekurangan, dan benda-benda tertentu, ada yang sesuai dengan jiwa manusia serta perkara tertentu mengandung maslahat dan mafsadah. Oleh karena itu, yang menjadi obyek pembahasan kita sekarang ini adalah apakah akal mampu menjadi petunjuk secara independen dan mandiri tanpa bantuan syariat dan dengan hanya melihat subyek sebuah perbuatan (tanpa bersandarkan pada perintah dan larangan Ilahi atas sebuah perbuatan) mampu memutuskan bahwa perbuatan ini seharusnya dilaksanakan atau semestinya ditinggalkan, dan memandang bahwa pelaku perbuatan tersebut layak dipuji atau dicela serta menghitung bahwa pelakunya berhak mendapatkan pahala atau azab? Jika jawaban dari pertanyaan ini adalah positif, maka apakah akal hanya menjadi petunjuk khusus bagi perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan manusia saja ataukah juga meliputi perbuatan-perbuatan Ilahi?
Adliah, pada kedua pertanyaan tersebut menjawab secara positif, sementara golongan lain menjawab kedua pertanyaan tersebut secara negatif dan sebagian yang lain mengatakan bahwa jawaban untuk pertanyaan kedua ialah negatif dan jawaban soal yang pertama adalah positif. Kesimpulannya, baik dan buruk dalam perspektif akal adalah bahwa akal manusia (akal praktis manusia) bisa memahami sebagian perbuatan manusia dan kemudian menghukuminya bahwa perbuatan itu adalah buruk. Nilai keburukan dari perbuatan itu tidak harus bersumber dari Tuhan.

Setelah jelas obyek perbedaan antara ‘Adliah dan Asy’ariah, selanjutnya akan dikemukakan dalil kedua kelompok tersebut.
Argumentasi ‘Adliah
Pendukung konsep tentang kebaikan dan keburukan dalam penilaian akal membangun beberapa argumentasi untuk menetapkan pendapat mereka. Ada argumentasi yang rumit dan ada yang sederhana, dalam tulisan ini akan dikemukakan argumentasi yang sederhana saja.
Seluruh manusia -terlepas dari ajaran agama dan syariat- mampu memahami sebagian perbuatan baik dan buruk, seperti adil dan jujur itu adalah baik, zalim dan dusta itu merupakan keburukan, dalam masalah ini tidak ada perbedaan antara mereka yang memeluk agama samawi ataupun mereka yang tidak menganut agama sama sekali. Jadi, jelas bahwa perbuatan baik dan buruk tidak hanya bergantung pada keputusan syariat saja, tetapi akal manusia bisa memahaminya (baik dia meyakini dan menganut sebuah agama ataupun tidak menganut agama sama sekali).
Untuk menegaskan pandangan tersebut, misalnya seseorang yang tidak menganut agama apapun dan dia diharuskan memilih antara jujur dan dusta, dan tanpa ada intervensi dari luar seperti sisi manfaat untuk seseorang, maka sudah pasti dia akan memilih jujur daripada dusta, dan yang menjadi faktor penentu dalam memilih hal tersebut adalah hukum dan keputusan akal yang mengatakan bahwa kebaikan itu semestinya dilakukan dan keburukan itu adalah perbuatan yang tidak layak untuk dilakukan.
Argumentasi Asya’riah
Asy’ariah mengemukakan beberapa argumentasi untuk membenarkan penolakannya atas konsep kebaikan dan keburukan yang berasal dari akal, di antaranya:
1. Jika akal secara independen bisa memahami kebaikan dan keburukan sebuah perbuatan, maka pasti tidak ada perbedaan antara proposisi-proposisi berikut ini: “prinsip kontradiksi (asl tanaqudh)” dengan “kejujuran itu merupakan kebaikan.”Sementara kita tidak bisa mengingkari bahwa kedua proposisi tersebut memiliki perbedaan.
Adliah menjawab argumentasi tersebut dengan mengemukakan argumentasi lain. Mereka mengatakan bahwa sekalipun pendukung kebaikan dan keburukan dalam perspektif akal memandang proposisi-proposisi tersebut semuanya dalam tataran yang gamblang, seperti jujur itu adalah baik dan sebagainya, akan tetapi kegamblangan itu sendiri memiliki derajat kualitas yang berbeda-beda, bahkan sebagian dari proposisi itu merupakan hal yang sangat nyata dan jelas (seperti makna wujud itu sendiri atau prinsip kontadiksi), sementara proposisi yang lain memiliki tingkat kejelasan yang lebih rendah. Oleh karena itu, ketika suatu proposisi yang kejelasannya lebih rendah ketimbang proposisi lain, maka hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk mengatakan ketidakjelasan dan ketidakrasionalan proposisi tersebut.
2. Jika akal yang menentukan kebaikan dan keburukan itu, maka tidak akan pernah perbuatan baik itu menjadi buruk dan tidak akan pernah perbuatan buruk itu menjadi baik. Sementara sering kali kita saksikan dalam peristiwa tertentu tidak demikian kenyataannya. Seperti dusta yang merupakan perbuatan buruk, namun ketika perbuatan dusta menyebabkan keselamatan jiwa Nabi dari kebinasaan, maka dusta dalam hal ini menjadi perbuatan baik dan layak untuk dilakukan. Demikian pula halnya perbuatan jujur, jika menjadi sebab bagi kebinasaan Nabi, maka kejujuran di sini akan menjadi buruk.
Dalam menjawab argumentasi di atas dikatakan bahwa baiknya jujur dan buruknya dusta itu tetap dalam hakikat dan kedudukannya; akan tetapi dikarenakan menjerumuskan jiwa Nabi kepada kebinasaan, maka kejujuran ini jika dibandingkan dengan dusta adalah jauh lebih buruk, akal menghukumi bahwa perbuatan yang keburukannya lebih rendah (yakni berdusta) lebih utama atas perbuatan yang keburukannya lebih tinggi (yakni menjerumuskan jiwa nabi pada kebinasaan). Oleh karena itu, dusta yang menyelamatkan jiwa Nabi itu sendiri harus dilakukan dan diutamakan, dan pengutamaan perbuatan seperti ini adalah kebaikan dan kelayakan. Dengan demikian, perkara ini sendiri digolongkan kedalam kebaikan yang rasional.
Pengaruh Konsep Kebaikan dan Keburukan dalam penilaian Akal
Sudah dikatakan bahwa para ahli kalam Imamiyah dan Mu’tazilah merupakan pendukung konsep tersebut, sementara Asy’ariah menolaknya. Adapun hasil yang paling penting dari keyakinan dan pandangan atas konsep ini dalam ilmu kalam adalah terkonstruksinya beberapa kaidah yang landasannya bertumpu pada konsep tersebut, seperti kemestian ma’rifat Tuhan, hikmah dan keadilan Tuhan, kaidah rahmat Tuhan, kebaikan kewajiban, keburukan suatu kewajiban yang tidak mampu dilakukakan, dan keburukan suatu siksaan dengan tanpa adanya penjelasan sebelumnya.
Konsep Kebaikan dan Keburukan dalam penilaian Akal menurut Al-Quran dan Hadits
Dengan merenungkan sebagian dari ayat-ayat al-Quran akan menjadi jelaslah bahwa al-Quran menegaskan dan menguatkan konsep kebaikan dan keburukan yang bersumber dari akal ini serta memandang sahnya hukum akal dalam masalah kebaikan atau keburukan sebagian perbuatan. Sebagai contoh, beberapa ayat di bawah ini kami kemukakan kepada Anda, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. Dan, “(yaitu) orang-orang yang mengikuti rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.” Begitu pula, “Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”
Ayat yang telah kita sebutkan di atas menjelaskan hakikat tersebut, bahwa akal secara inedependen mampu memahami sebagian perbuatan manusia dengan tanpa campur tangan syariat sama sekali, seperti adil, berbuat baik, mengajak pada kebaikan, perbuatan keji, munkar, dan maksiat. Dengan kata lain, sebelum ayat ini turun, baik dan buruk perbuatan tersebut dalam tatanan kehidupan manusia telah jelas sejak awal. Berdasarkan pandangan tersebut, kita mengatakan bahwa Tuhan juga akan memerintahkan perbuatan yang menurut akal adalah baik seperti keadilan dan ihsan serta melarang dan mencegah perbuatan buruk seperti kezaliman.
Di samping itu, ketika kita memperhatikan sebagian ayat lainnya, Tuhan menjadikan akal dan nurani manusia sebagai hakim dan petunjuk yang adil untuk menetapkan perbuatan-perbuatan baik, seperti, “Tidak ada Balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” Dan, “Patutkah Kita menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kita menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat.”









BAB III
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN

Pada pembahasan yang berkaitan dengan pengenalan Tuhan, kita akan banyak bertemu dengan tiga istilah seperti asma (nama-nama) Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan perbuatan-perbuatan Tuhan. Poin yang perlu mendapatkan perhatian di sini adalah bahwa istilah-istilah ini pada cabang-cabang keilmuan yang berbeda kadangkala muncul dengan arti yang berbeda pula, dan tidak senantiasa memiliki satu makna yang konstan. Karena pembahasan kita berada pada wilayah ilmu kalam (teologi), maka yang penting bagi kita adalah makna istilah sebagaimana yang dimaksud oleh para teolog atau mutakallim. Dalam literatur ilmu kalam, istilah “sifat Ilahi” lebih banyak digunakan. Istilah ini terkadang digunakan sama dengan asma (nama-nama). Kata-kata seperti ‘âlim, ‘alîm“, qâdir, hayyu, dan murîd … dikatagorikan sebagai sifat dan asma Ilahi. Kadangkala terdapat pula perbedaan antara sifat dan asma Tuhan ini dimana berdasarkan hal tersebut, kata-kata semacam ‘ilm, kodrat, hayât dan … adalah merupakan sifat-sifat Tuhan sedangkan kata-kata seperti ‘âlim, ‘alîm, qâdir, hayyu dan … merupakan asma Tuhan.
Jumlah asma Tuhan sangat sedikit dan hanya berkisar pada kata-kata semacam Allah dalam bahasa Arab dan Khudo dalam bahasa Persia atau Tuhan dalam bahasa Indonesia, akan tetapi sifat-sifat Tuhan sangat banyak seperti ‘âlim, hayyu, murîd, qâdir, … dan lain yang sejenisnya. Walhasil, yang dimaksud dengan “sifat” pada pembahasan kita kali ini adalah kata yang dinisbahkan kepada Tuhan dan terpredikasi pada dzat Ilahi.
Dalam pembahasan ilmu kalam biasanya sifat-sifat Tuhan dikelompokkan berdasarkan berbagai sudut pandang, dan setiap bentuk pembagian itu memiliki nama-nama khusus. Pada kesempatan ini, sebelum memasuki pembahasan selanjutnya kami akan menyiratkan pembagian sifat-sifat dan istilah-istilah khusus yang sering digunakan:

1. Sifat mesti dan tidak mesti

Salah satu pengelompokan yang sering digunakan dalam sifat Tuhan adalah sifat mesti (tsubuti) dan tidak mesti (salbi). Sifat tsubuti menjelaskan dimensi kesempurnaan Tuhan dan menetapkan bahwa kesempurnaan itu mesti ada, nyata, dan hakiki pada dzat Tuhan. Pada sisi lain, sifat salbi menunjukkan pada ketiadaan penisbahan Tuhan atas sifat-sifat yang tak sempurna dan menafikan dzat Tuhan dari segala bentuk ketaksempurnaan, keterbatasan, dan kekurangan. Karena ketaksempurnaan dan kekurangan merupakan salb atau negasi kesempurnaan itu sendiri maka hakikat sifat negasi diibaratkan sebagai negasi dari negasi kesempurnaan dan karena negasi dari negasi akan menjadi positif, maka sifat salbi atau negasi pada akhirnya akan berujung pada kesempurnaan dzat Tuhan. Berdasarkan hal ini, sifat ilmu, kodrat, iradah, dan hidup merupakan sifat-sifat tsubuti Tuhan dan sifat non-materi, tak-bergerak merupakan sebagian dari sifat-sifat salbi atau negasi Tuhan.
Dari penjelasan tersebut, menjadi jelas bahwa sifat negasi sama sekali tidak menunjukkan adanya kekurangan pada dzat Tuhan, melainkan sebagaimana sifat tsubuti yang menghikayatkan kesempurnaan dzat Tuhan. Karena pada dasarnya, sifat-sifat negasi menetapkan ketidaklayakan sifat-sifat untuk Tuhan dan mengandung kemestian penolakan ketaksempurnaan dan kelemahan pada dzat Tuhan. Sebagai misal, bergeraknya suatu maujud menunjukkan ketaksempurnaannya, karena gerak bermakna bahwa sesuatu yang bergerak tersebut pada awalnya tidak memiliki kesempurnaan khas dan setelah melakukan gerakan ia mencapai kesempurnaan. Jelas, bahwa makna semacam ini tidak sesuai untuk kesempurnaan mutlak Tuhan, oleh karena itu, gerak harus tiada pada dzat Tuhan. Penolakan sifat gerak ini yaitu penafian gerak, pada akhirnya akan berujung pada pembuktian atas kesempurnaan Tuhan, karena penafian ketaksempurnaan sesuatu tidak lain adalah pembuktian kesempurnaan sesuatu. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sifat tak bergerak merupakan salah satu sifat negasi atau salbi Tuhan.
Kadangkala dikatakan bahwa sifat jasmani, gerak, materi dan semisalnya merupakan sifat negasi Tuhan, karena sifat-sifat itu ternegasikan pada dzat Tuhan. Akan tetapi anggapan ini salah karena sifat negasi juga disandarkan pada Tuhan sebagaimana sifat tsubuti. Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah bahwa ketakjasmanian, ketakbergerakan, ketakmaterian, dan lain sebagainya merupakan sifat-sifat negasi Tuhan. Oleh karena itu, berlawanan dengan anggapan sebagian, maksud dari sifat negasi bukanlah bermakna bahwa sifat ini dinegasikan dari Tuhan, melainkan maksudnya adalah bahwa sifat-sifat ini meniscayakan penolakan ketaksempurnaan dan keterbatasan Tuhan. Memang terdapat perbedaan yang sangat halus dari penafsiran atas sifat negasi ini yang kurang mendapat perhatian.
Mungkin di sini akan muncul pertanyaan, apabila maksud dari sifat negasi akhirnya berujung pada pembuktian kesempurnaan Tuhan (misalnya Tuhan non-materi), lalu kenapa kesempurnaan yang tertetapkan itu (kenon-materian Tuhan) tidak langsung dikategorikan pada sifat tsubuti, bukankah dengan mengetengahkan pengertian yang menunjukkan ketaksempurnaan kemudian dinegasikan kembali, membuat pembahasan yang semula pendek menjadi panjang dan tema yang semula mudah menjadi rumit?
Dalam menjawab pertanyaan ini bisa dikatakan bahwa yang benar adalah bahwa setiap sifat negasi senantiasa memestikan satu sifat tsubuti, akan tetapi kadangkala makna negasi secara khusus apabila dikomparasikan dengan makna tsubuti lebih akrab dan lebih mudah dipahami oleh pikiran masyarakat umum dan lebih banyak digunakan dalam bahasa-bahasa umum. Sebagai contoh, non-jasmani atau non-materi Tuhan yang meniscayakan sifat tajarrud (immateriality, spirituality) Tuhan, dalam pikiran masyarakat umum makna non-jasmani dan non-materi lebih mudah dipahami daripada makna tajarrud.
Poin lain dalam penjelasan sifat negasi adalah bahwa sifat ini secara langsung dan tegas menegasikan segala bentuk ketaksempurnaan Tuhan dan menunjukkan perbedaan nyata antara Tuhan dan makhluk-Nya. Ketika dikatakan bahwa Tuhan bukan jasmani atau Tuhan tidak membutuhkan ruang dan waktu, maka hal ini menegaskan perbedaan riil antara Tuhan dan makhluk-Nya yang jasmani dan terikat dengan tempat dan masa. Berbeda dengan sifat tsubuti tidak tegas menunjukkan perbedaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya.

2. Sifat dzat dan sifat perbuatan
Sesungguhnya sifat-sifat yang dinisbatkan kepada Allah, adakalanya berupa konsep-konsep (gambaran di mental) yang diperoleh akal dari pengamatannya atas zat Allah, sambil menekankan bahwa sifat-sifat tersebut mencakup berbagai kesempurnaan seperti; sifat hidup (Al-Hayah), ilmu (Al-’Ilm), dan kuasa (Al-Qudrah) dan sifat-sifat lainnya. Atau, ada-kalanya sifat-sifat itu berupa konsep-konsep yang diperoleh akal dari pengamatannya atas bentuk-bentuk hubungan antara Allah swt dengan makhluk-makhluk-Nya seperti; penciptaan (Al-Khaliqiyah) dan pemberian rizki (Ar-Razikiyah). Kelompok pertama disebut sebagai sifat–sifat dzatiyah, dan kelompok kedua sebagai sifat-sifat fi’liyah.
Perbedaan mendasar antara dua sifat tersebut ialah bahwa sifat-sifat pada kelompok pertama merupakan realitas objektif yang nyata bagi dzat Ilahi yang suci-Nya. Adapun sifat-sifat pada kelompok kedua merupakan relasi (nisbah) antara Allah dan makhluk-Nya. Di sini, dzat Allah dan dzat makhluk-Nya merupakan dua sisi relasi, misalnya Al-Khaliqiyah. Sifat ini diperoleh dari hubungan yang terdapat pada makhluk-makhluk-Nya dengan dzat Allah. Dalam hal ini, Allah swt. dan seluruh makhluk merupakan dua sisi hubungan tersebut. Akan tetapi dalam realitasnya, tidak terdapat apa pun selain dzat Allah yang suci dan dzat-dzat makhluk-Nya. Artinya bahwa Al-Khaliqiyah itu bukanlah sebuah realitas yang nyata.
Sudah jelas bahwa pada tataran dzat, Allah swt. memiliki sifat Al-Qudrah (kekuasaan) untuk mencipta. Akan tetapi, sifat ini merupakan sifat dzatiyah. Adapun Al-Khalq (penciptaan) merupakan mafhum idlafi (konsep relasional) yang diperoleh pada tataran tindakan Allah. Oleh karena itu, Al-Khaliq (pencipta) termasuk sifat fi’liyah. Lain halnya jika kita menafsirkan Al-Khaliq (pencipta) dengan Al-Qadir ‘alal khalq (kuasa untuk mencipta), dalam hal ini ia kembali kepada sifat dzatiyah, yakni Al-Qudrah.
Sifat-sifat dzatiyah Allah yang penting ialah Al-Hayah (hidup), Al-’Ilm (tahu), dan Al-Qudrah (kuasa). Adapun sifat mendengar (As-Sami’) dan melihat (Al-Bashir), apabila kita tafsirkan kedua sifat ini bahwa Allah mengetaui apa saja yang didengar dan apa saja yang dilihat, atau kuasa untuk men-dengar dan melihat, maka kedua sifat tersebut menginduk kepada Al-’Alim dan Al-Qadir (Mahatahu dan Mahakuasa). Namun, jika maksud kedua sifat itu adalah mendengar dan melihat secara tindakan (fi’li) yang dicerap akal dari hubungan Dzat Yang Mahadengar dan Mahalihat dengan segala sesuatu yang mungkin untuk didengar dan dilihat, maka kedua sifat tersebut harus digolongkan ke dalam sifat fi’liyah. Sebagimana sifat ilmu terkadang digunakan dengan pengertian demikian ini. Istilah seperti ini dinamakan sebagai ilmu fi’li.
Sebagian mutakalimin menggolongkan sifat berkata (Al-Kalam) dan berkehendak (iradah) ke dalam sifat dzatiyah, yang Insya Allah hal ini akan kita bahas pada bagian berikutnya.

Menetapkan Sifat-sifat Dzat Tuhan
Cara yang paling mudah untuk menetapkan sifat Al-Hayah, Al-Qudrah dan Al-’Ilm pada Allah swt. adalah sebagai berikut; bahwa tatkala konsep (dari sifat-sifat) tersebut berlaku pada makhluk-makhluk, ia merupakan kesempurnaan bagi mereka. Konsekuensinya adalah sifat-sifat itu pun terdapat pada Sebab Pengada dalam bentuk yang lebih mulia dan lebih sempurna. Karena, setiap kesempurnaan yang ada pada makhluk manapun bersumber dari Sebab Pengada, yaitu Allah swt. Dengan demikian, Dia pasti memiliki sifat-sifat tersebut sehingga menganugerahkan kepada makhluk-makhluk-Nya. Sebab, tidak mungkin suatu dzat adalah sebagai Pencipta kehidupan, sementara Dia sendiri tidak memilikinya, atau menganugerahkan pengetahuan dan kekuasaan kepada makhluk-makhluk-Nya, sementara Dia sendiri jahil dan lemah. Jelas, bahwa setiap yang tidak memiliki sesuatu tidak akan dapat memberikan sesuatu kepada selainnya (Faqidu As-Syai La Yu’thihi)
Maka itu, keberadaan sifat-sifat kesempurnaan pada sebagian makhluk-Nya merupakan dalil atas keberadaan sifat-sifat tersebut pada Al-Khaliq (pencipta) tanpa berkurang dan terbatas. Artinya, Allah swt. memiliki sifat hidup, ilmu dan kuasa secara mutlak dan tak terbatas. Untuk selanjutnya, kami akan membahas masing-masing dari ketiga sifat tersebut secara lebih luas.
Sifat dzat merupakan salah satu kesempurnaan Tuhan, terpancar dari dzat Tuhan dan dipredikasikan pada dzat-Nya, sebagai contoh, salah satu dari kesempurnaan Ilahi adalah Dia mampu melakukan setiap perbuatan yang mungkin. Akal dengan memperhatikan kesempurnaan ini akan mendapatkan makna “kodrat” lalu menisbahkannya kepada dzat Tuhan. Pada sisi yang lain, sifat perbuatan diperoleh dari hubungan khusus antara dzat Tuhan dan maujud-maujud lain. Sebagai contoh, Tuhan memiliki hubungan kepenciptaan dengan eksistensi-eksitensi lain, dimana dengan memberikan wujud pada eksistensi-eksistensi tersebut berarti Dia mengeluarkan mereka dari “alam ketiadaan”. Dengan memperhatikan adanya hubungan khusus ini, kita akan menetapkan sifat mencipta pada-Nya lalu menyebut-Nya sebagai Pencipta (Khâliq).
Dari gambaran di atas, menjadi jelas bahwa untuk menjelaskan Tuhan dengan sifat dzat cukup dengan memandang pada dzat Ilahi saja, dan kita tidak perlu lagi menggambarkan sesuatu yang berada di luar dzat-Nya. Hal ini berbeda pada sifat perbuatan, karena selain kita harus memperhatikan dzat Tuhan, kita juga harus memperhatikan “hal-hal” yang lain yang terkait dengan-Nya.[1] Sebagai contoh, apabila kita ingin menyifati Tuhan dengan sifat Pencipta maka langkah pertama, kita harus memandang eksistensi lain yang diciptakan oleh-Nya, dan kemudian dengan memandang hubungan Tuhan dengan eksistensi tersebut, kita akan menisbahkan sifat mencipta pada-Nya. Dengan ibarat lain, sumber perolehan sifat dzat adalah dari dzat Tuhan itu sendiri, akan tetapi sifat perbuatan terambil dari perbuatan Tuhan, dengan arti bahwa dengan memperhatikan perbuatan-Nya sendiri akan tersifati dengan sifat ini.
Dengan memperhatikan kajian di atas, sifat-sifat semacam ilmu, kodrat dan hidup merupakan sebagian dari sifat-sifat dzat Tuhan dan sifat-sifat semacam pemberi nikmat, rahmat, hidayah, dan lain-lain adalah termasuk sifat-sifat perbuatan Tuhan. Tentu saja sebagaimana yang akan kami bahas pada tema-tema selanjutnya, sebagian dari sifat-sifat (seperti ilmu atau iradah) dari satu sisi bisa dikatakan sifat dzat dan dari dimensi lain terkadang disebut sifat perbuatan.

3. Sifat tetap dan tambahan
Di sini terdapat pula pengelompokan ketiga yakni sifat Tuhan dibagi menjadi dua bagian yaitu sifat tetap dan tambahan. Sifat tetap (nafsi) merupakan sifat-sifat mandiri dan bukan merupakan tambahan dari yang lain, akan tetapi sifat tambahan merupakan sifat yang lahir akibat tambahan dari yang lain. Sebagai contoh, hidup merupakan sifat tetap akan tetapi ilmu, kodrat dan iradah merupakan sifat-sifat tambahan, karena makna ilmu bersumber dari hubungan dengan obyek yang diketahui dan makna kodrat berhubungan dengan sesuatu yang dikuasai serta makna iradah terkait dengan sesuatu yang dikehendaki.

4. Sifat dzat dan khabar
Pengelompokan ini khusus pada Ahli Hadis. Maksud dari sifat dzat di sini adalah sifat yang menunjukkan kesempurnaan dzat Tuhan. Pada sisi yang lain, sifat khabar adalah sifat yang terdapat dalam teks-teks suci agama (al-Quran dan hadis) yang dinisbahkan pada Tuhan. Apabila memperhatikan makna lahiriahnya, hal ini akan meniscayakan kematerian dan kejasmanian Tuhan serta kemiripan-Nya dengan makhluk-makhluk materi. Sebagai contoh, dalam al-Quran terdapat ayat yang secara lahiriah memperkenalkan Tuhan sebagai suatu realitas yang memiliki organ dan anggota badan seperti muka, tangan dan mata. Berdasarkan pembagian ini, sifat-sifat tersebut yaitu Tuhan memiliki wajah, tangan dan mata merupakan sifat khabar, karena konsekuensi penerimaan makna lahiriah dari sifat-sifat itu ialah penerimaan akan kematerian Tuhan.

Yuk saling berkomentar memberikan masukan positif...

Post a Comment (0)
Your Ads Here

Ads middle content2

Your Ads Here