Subscribe

Your Ads Here
73745675015091643

MAKALAH ILMU KALAM: PERDEBATAN MASALAH2 DALAM ILMU KALAM



BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Alam semesta dengan segala isinya diciptakan oleh Allah Yang Maha Kuasa ( Qadir ). Tidak ada suatu kekuasanpun yang menyamai, apa lagi melebihi kekuasaan Allah. Ia dapat melakukan apa saja, yang dikehendaki-Nya. Demikian pengertian secara umum tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.Walaupun demikian, dalam sejarah perkembangan ilmu kalam terdapat perbedaan pandangan tentang kakuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Perbedaan ini sebagai akibat perbedaan paham yang terdapat pada dalam aliran teologi Islam tentang kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuasaan manusia atas kehendak dan perbuatannya.
Ilmu Kalam adalah salah satu yang banyak di bahas dalam banyak hal, terutama maslah-masalah yang terdapat dalam ilmu kalam yang diantaranya seputar perbedaan pendapat dari beberapa madhab tentang beberapa hal dalam ilmu kalam.
Semua aliran dalam ilmu kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan di sini dipandang sebagai konsekwensi logis dari dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Ada tiga (3) aliran besar ilmu kalam (Mu`tazilah, Asy`ariyah, Maturidiyah) dalam pandangannya tentang perbuatan Tuhan, konsep iman, akal dan wahyu dan sebagainya.

B. METODE PENELITIAN
Dalam menyusun makalah ini penulis melakukan metode penalitian yang diantaranya sebagai berikut :
1. Liblary research yang dimana penulis melakukan kajian dengan malihat dari sumber buku, seprti tafsir, buku PAI, buku sejarah peradaban dan lain sebagainya
2. Media masa, yang dimana penulis memperoleh data dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi yaitu internet seperti Blog, website, dan surat kabar online.
3. Hasil diskusi kelompok

BAB II
PEMBAHASAN


A. KONSEP IMAN
Menurut pendapat-pendapat ulama fiqih bahwa iman merupakan sebuah Tasdiq di dalam hati hal tersebut yaitu menurut, antara lain:
Menurut Abu Abdullah bin Khafif, Iman adalah sebuah pembenaran hati terhadap sesuatu yang telah di jelaskan oleh Al Haq (Allah) tentang masalah-masalah yang gaib. Menurut Abdullah At Tustari, Bahwa iman adalah merupakan kesaksian Al-haq dalam. Karena jika Allah di pandang dengan penglihatan tanpa pembatas, dan jika dengan pengetahuan tanpa berakhir.
Dari pendapat para ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa iman merupakan hal yang bersangkutan dengan hati. Semua hal-hal yang gaib seperti Tuhan, sifat-sifatnya, akhirat, takdir, rejeki, dan sebagainya merupakan sebuah pembenaran dan kepercayaan hati. Jika dipahami secara mendalam iman mempunyai hubungan yang sangat erat kaitannya dengan amaliyah-amaliyah atau perbuatan. Amaliyah-amaliyah atau perbuatan merupakan tolak ukur keimanan seseorang. Jika seseorang melakukan perbuatan-perbuatan yang menjadikan dirinya dekat dengan Allah, maka dapat dipastikan bahwa seseorang tersebut beriman kepada Allah yaitu dengan menjalankan syariat-syariatnya yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam pembahasan ilmu kalam konsep iman terbagi menjadi tiga golongan yaitu :
Iman adalah Tasdiq dalam hati atas wujud Allah dan keberadaan Nabi atau Rasul Allah. Menurut konsep ini iman dan kufur semata-mata adalah urusan hati, bukan Nampak dari luar. Jika seseorang membenarkan atau meyakini adanya Allah maka ia dapat disebut teklah beriman kepada Allah meskipun perbuatannya tidak sesuai dengan ajaran agama islam. Konsep iman ini banyak dianut oleh mazhab murjiah yang sebagian besar penganutnya adalah Jahamiyah dan sebagian kecil Asy’ariyah.
Menurut paham diatas bahwa keimanan seseorang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan atau amaliyah-amaliyah zahir, dikarenakan hati adalah sesuatu yang tersembunyi sehingga tidak dapat disangkut pautkan dengan keadaan yang zhahir.
Iman adalah Tasdiq di dalam hati dan diikrarkan dengan lidah. Dengan demikian seseorang dapat digolongkan beriman apabila mempercayai dalam hati keberadaan Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) dengan lidah. Disini antara keimanan dan perbuatan manusia tidak ada hubungannya. Yang terpenting dalam iman adalah Tasdiq dalam hati dan diikrarkan dengan lisan konsep ini dianut oleh sebagian pengikut Mahmudiyah.
Iman adalah Tasdiq dalam hati dan diikrarkan dengan lisan serta dibuktikan dengan perbuatan. Disini diterangkan bahwa antara iman dan perbuatan terdapat keterkaitan karena keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya konsep iman ini dianut oleh Mu’tazilah dan Khawarij.
Agama islam adalah agama yang mengajarkan pemeluknya untuk berbuat amal shaleh dan menjauhi larangan-Nya. Oleh sebab itu seseorang dianggap telah sempurna imannya apabila betul-betul telah diyakini dengan hati, diikrarkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan. Menyangkut tentang ciri keimanan seseorang kita dapat melihat dari tasdiq dan perilakunya.
Manusia mempunyai sifat lahiriyah, sifat inilah yang menjadi ukuran bagi kita untuk melihat keimanan seseorang. Sifat-sifat yang dapat dilihat melalui tindak-tanduk manusia sama ada perkataan atau perbuatan adalah menjadi tanda iman yang menjadi ukuran kita. Adapun segala apa yang tersirat dihatinya adalah terserah kepada Allah SWT.
                      
Artinya Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang Shiddiqien dan orang-orang yang menjadi saksi di sisi Tuhan mereka. bagi mereka pahala dan cahaya mereka. dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat kami, mereka Itulah penghuni-penghuni neraka.



Iman adalah tashdiq di dalam hati. Menurut konsep ini, iman dan kufur semata-mata urusan hati, bukan terlihat dari luar. Jika seseorang sudah tashdiq (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah, ia sudah disebut beriman, sekalipun perbuatannya tidak sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Konsep Iman seperti ini dianut oleh mazhab Murjiah, sebagaian penganut Jahmiah, dan sebagaian kecil Asy’ariah.Iman adalah Tashdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lidah.

B. KEBEBASAN DAN KETERIKATAN MANUSIA
Asy’ariah Tentang kebebasan dan Keterikatan Manusia
Asy’ariah memandang bahwa manusia lemah. Karena kelemahan manusia itu, ia banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Jadi menurut Asy’ariah manusia dalam perbuatannya mempunyai keterbatasan. Dalam hal ini Asy’ariah lebih dekat kepada paham jabariah.
Hal ini sesuai dengan alasan yang dikemukakan oleh Asy’ariah berdasarkan firman Tuhan dalam QS. Ash Shafaat : 96
    
Artinya Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".


didalam ayat tersebut diartikan oleh Asy’ariah “apa yang kamu perbuat dan apa yang kami buat”. Dengan demikian ayat ini mengandung arti bahwa Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu. Tegasnya bahwa dalam paham Asy’ariah perbuatan manusia diciptakan Tuhan. Jadi Kasb pada hakikatnya perbuatan Tuhan sendiri.
Mu’tazilah tentang kebebasan dan keterikatan Manusia
Dalam sistem teologi Mu’tazilah, manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas. Hal ini menunjukan bahwa Mu’tazilah menganut paham Qodariyah atau Free Will dan Free Act.
Al-Jubba’I seorang pemuka Mu’tazilah menerangkan bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia berbuat baik atau buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Dan daya (Isthitha’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Pendapat yang sama pula dikemukakan oleh Abdul Jabbar, pemuka golongan Mu’tazilah. Ia mengatakan bahwa perbuatan manusia bukanlah diciptakan oleh Tuhan pada diri manusia tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan itu.
Dari penjelasan diatas dapat diambil pengertian bahwa Mu’tazilah memandang Tuhan tidak mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan manusia. Tegasnya, golongan Mu’tazilah berpendapat tentang kemauan dan daya hubungannya dengan perbuatan manusia dinyatakan bahwa kemauan dan daya untuk menciptakan perbuatan manusia adalah kemauan-kemauan dan daya manusia sendiri dan tidak turut di dalamnya kemauan dan daya Tuhan.
Pendapat golongan Mu’tazilah tersebut dipertahankan oleh Abdul Jabbar dengan mengemukakan alasan-alasan rasional dan ayat-ayat Al-Qur’an. Dikemukakannya, manusia dalam berterima kasih atas kebaikan-kebaikan yang diterima dari manusia lainnya atau melahirkan rasa tidak senang atas perbuatan-perbuatan tidak baik dari lainnya, maka terima kasih dan rasa tidak senang itu ditujukan kepada manusia. Kalau sekiranya perbutan baik dan buruk adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, tentunya rasa terima kasih itu akan ditujukan kepada Tuhan bukan kepada manusia.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan, bahwa golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan berbuat, tidak terikat oleh perbuatan Tuhan. Hal ini bertentangan dengan pendapat Asy’ariah. Perlu diketahui bahwa kebebasan yang dimuliki oleh manusia tidak mutlaq, terbatas oleh yang tidak dapat dikuasai oleh manusia sendiri, seperti hidup di muka bumi yang kemudian mati.
Maturidiah Bukhara tentang kebebasan dan keterikatan Maturidiah sebagaimana yang dikemukakan diatas terdiri dari golongan Mutaridiah Bukhara dan Maturidiah Samarkand.
Maturidiah Bukhara lebih condong kepada paham Asy’ariah.
Soal perbuatan manusia, Maturidiah Bukhara sebagaimana dikemukakan oleh Al-Bazdawi mengenai kehendak, daya dan perbuatan manusia nampak adanya keterikatan dengan Tuhan. Dikatakannya, untuk mewujudkan perbuatan perlu ada dua daya, manusia tidak mempunyai daya untuk menciptakan, hanya Tuhan yang dapat menciptakan, termasuk perbuatan manusia. Jadi, daya yang ada pada manusia hanya bisa untuk melakukan perbuatan. Jadi, manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan bagi manusia.
Dari sinilah dikatakan bahwa Maturidiah Bukhara lebih condong kepada Asy’ariah, manusia tidak efektif dalam mewujudkan perbuatannya, dengan kata lain manusia dalam berbuat memiliki keterikatan
Maturidiah Samarkand tentang kebebasan dan keterikatan
Maturidiah Samarkand dalam pendapatnya mengenai perbuatan manusia adalah juga ciptaan Tuhan. Disebutnya ada dua perbuatan, yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri adalah perbuatan manusia.
Daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan, berbeda dengan pendapat Mu’tazilah bahwa daya diciptakan lebih dahulu dari pada perbuatan. Perbuatan manusia dikemukakan oleh Maturidiah Samarkand adalah perbuatan manusia yang sebenarnya bukan dalam arti kiasan. Sehingga apa yang disebut pemberian upah dan hukuman didasarkan atas pemakaian daya yang diciptakan. Dengan kata lain, manusia diberi hukuman atas kesalahan pemakaian daya dan diberi upah atas pemakaian daya yang benar.
Memperhatikan pendapat golongan Maturidiah Samarkand bahwa daya adalah yang diciptakan dalam diri manusia, dan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya, maka daya untuk berbuat itu adalah mesti daya manusia. Dengan demikian manusialah yang mewujudkan perbuatan.
Menyinggung apa yang sudah dikemukakan mengenai hukuman dan upah, dinyatakan bahwa kehendak manusialah yang sebenarnya menentukan pemakaian daya, apakah untuk kebaikan atau untuk kejahatan. Tergantung kepada benar atau tidaknya pemakaian daya. Karena pemakaian dayalah manusia diberi upah dan hukuman. Dengan demikian menurut pandangan Maturidiah Samarkand, mempunyai kebebasan memilih yang terbatas kepada kemauan memilih pemakaian daya yang telah diciptakan Tuhan pada diri manusia. Ini berarti perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan, bukan kehendak manusia. Kalau demikian halnya mengandung arti bahwa didalam perbuatan manusia terdapat keterikatan atas paksaan.
Selanjutnya Maturidiah Samarkand berpendapat mengenai perbuatan manusia yang juga sebagai pengikut Imam Hanafi mengajukan paham Masyiah (kemauan) dan Ridha (kerelaan). Manusia melakukan perbuatan baik dan buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak selamanya dengan kerelaan Tuhan. Tegasnya manusia berbuat baik atas kehendak Tuhan dengan kerelaan-Nya, dan manusia berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan Tuhan. Dengan demikian Maturidiah Samarkand memandang kebebasan manusia berbuat lebih kecil di banding dengan pandangan Mu’tazilah.


C. KEADILAN TUHAN
Masalah keadilan Tuhan ini juga dibahas oleh aliran aliran tersebut di atas, yang secara rinci adalah:
Bagi Mu’tazilah, sebagai yang diterangkan oleh Abd. al Jabbar, keadilan erat hubungannya dengan hak, dan keadilan diartikan memberi seseorang akan haknya. Kata kata “Tuhan Adil” mengandung arti bahwa Ia tidak dapat mengabaikan kewajiban kewajibanNya terhadap manusia. Ayat ayat Al Quran yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah di atas adalah ayat 47 surat Al Anbiya’, ayat 64 surat Yaasin, ayat 46 surat Fush shilat, ayat 40 surat An Nisa’ dan ayat 49 surat Al Kahfi.
Keadilan menurut Asy’ariyah berarti menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu pemilik mempunyai kekuatan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Keadilan Tuhan mengandung arti, bahwa Tuhan mempunyai kekuatan mutlak terhadap makhlukNya dan dapat berbuat sekehendak hatiNya dalam kerajaanNya. Dalam hal ini tidak ditemukan secara khusus ayat ayat yang dijadikan dalil oleh Asyariyah.
Maturidiyah Bukhara’ berpendapat, bahwa keadilan Tuhan harus dipahami dalam kontek kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas Al Bazdawi menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos. Tuhan berbuat sekehendakNya sendiri.
Aliran Maturidiyah Samarkand menggarisbawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan dhalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas kejahatan kecuali dengan balasan yang seimbang dengan kejahatan itu. Tuhan tidak akan menganiaya hamba hambaNya dan juga tak akan mengingkari janji janjiNya yang telah disampaikan kepada manusia. Abu Mansur al Maturidi berdalil atas pandangan di atas dengan firman Allah Q.S. Al-An’am, 6: 160)
 •  ••           
Artinya "Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya". Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. Q.S. Ali ‘Imran, 3: 9



D. PERBUATAN TUHAN
Dalam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan ini, Asy’ari menulis Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun, di atas Tuhan tidak ada suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dpat menentukan apa yang boleh dibuat Tuhan. Tuhan bersifat absolut dalam kehendak dan kakuasaan-Nya. Sebagaimana kata al-Dawwani, Tuhan adalah Maha Pemilik (Al-Malik) yang bersifat absolut dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya di dalam kerajaan-Nya dan tak seorangpun yang dapat mencela perbuatan-Nya. Yaitu, sungguhpun perbuatan-perbuatan itu oleh akal manusia dipandang bersifat tidak baik dan tidak adil.
Dalam hal ini Asy’ariyah mengatakan bahwa kehendak Tuhan itu mutlak, karena hanya Ia sendiri yang menguasai alam ini dan bisa berbuat sekehendaknya. Berhubung dengan ini perbuatan-perbuatan Tuhan yang kelihatan menyimpang dati ketentuan akal, tidak bisa dikatakan buruk atau dzalim, seperti memberi pahala orang yang jahat dan menyiksa orang baik (orang mukmin). Dengan perkataan lain, perbuatan Tuhan tidak bisa dipersamakan dengan perbuatan manusia.
Selanjutnya kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Sebagaimana terkandung dalam Nadir, kekuasaan Mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut faham Mu’tazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Seterusya kekuasaan mutlak Tuhan itu dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan. Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendak-Nya, Tuhan telah terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat Tuhan bersifat tidak adil bahkan zalim. Selanjutnya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi lagi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia yang menurut faham Mu’tazilah memang ada. Lebih lanjut lagi, kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh nature hukumalam (sunah Allah) yang tidak mengalami perubahan.
Bahkan kaum Mu’tazilah menganut faham bahwa tiap-tiap benda mempunyai nature atau hukum alam sendiri. Hal ini diperjelas dengan pendapatnya al-Jahid bahwa tiap-tiap benda mempunyai sifat yang menimbulkan efek tertentu menurut nature masing-masing. Lebih tegas lagi al-Khayat menerangkan bahwa tiap-tiap benda mempunyai nature tertentu, dan tak dapat menghasilkan kecuali efek, misalnya api tidak bisa menghasilkan apa-apa kecuali panas dan es tidak dapat menghasilkan apa-apa kecuali dingin. Efek yang titimbulkan tiap benda menurut Mu’ammar seperti gerak, diam, warna, rasa, bau, panas, dingin, basah, kering, timbul sesuai dengan nature dari masing-masing benda yang bersangkutan. Sebenarnya efek yang ditimbulkan tiap benda bukan perbuatan Tuhan. Perbuatan Tuhan hanyalah menciptakan benda-benda yang mempunyai nature tertentu.
Ayat yang menjadi dalil adalah surat Al-baqarah ayat 20 :
        •                    
Artinya Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.

E. AKAL DAN WAHYU
Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumbr pengetahuan manusia tentang tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal mmpunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut. Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional, mengatakan juga kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk akan mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.
Sebaliknya aliran Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu. Sementara itu aliran maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui dngan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiaban berterima kasih kepada tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Aadapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat as-sajdah, surat al-ghosiyah ayat 17 dan surat al-a’rof ayat 185.
                       
Artinya: Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan Telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu. (al-a’rof ayat 185)
Di samping itu, buku ushul fiqih berbicara tentang siapa yang menjadi hakim atau pembuat hukum sebelum bi’sah atau nabi diutus, menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat pembuat hukum adalah akal manusia sendiri . dan untuk memperkuat pendapat mereka dipergunakan dalil al-Qur’an surat Hud ayat 24.
Sementara itu aliran kalam tradisional mngambil beberapa ayat Al-qur’an sebagai dalil dalam rangka memperkuat pendapat yang mereka bawa . ayat-ayat tersebut adalah ayat 15 surat al-isro, ayat 134 surat Taha, ayat 164 surat An-Nisa dan ayat 18 surat Al-Mulk.
•       •            •     
Artinya Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus seorang rasul. Al-isra ayat 15

F. PENGIRIMAN PARA RASUL
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mu’tazilah, yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya. Dalil yang menjadi dasar mereka adalah Q.S al-Ahzab ( 33:21):
                 
ARTINYA: Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

G. MELIHAT TUHAN
Aliran mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat nanti karena Tuhan bersifat immateri, sedangkan mata kepala bersifat materi, yang immateri hanya dapat dilihat oleh immateri pula. Menurutnya Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti bukan oleh mata kepala, melainkan dengan mata hati. Sedangkan menurut Asy’ariah bahwa Tuhan dapat dilihat nanti di akhirat. Sifat dapat dilihatnya Tuhan di akhirat tidak membawa kepada pengertian diciptakannya Tuhan. Dalil yang dipakai oleh mu’tazilah adalah surat Al-an’am ayat 103.
Bagi asy’ariyah, tuhan dapat dilihat di akhirat oleh manusia dengan mata kepala alasannya, tuhan mempunyai sifat-sifat tajassum, walaupun sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat jasmaniah manusia yang ada dlam materi ini. Tuhan maha kuasa. Oleh katena itu, ia bisa mengadakan apa saja. Sebaliknya akal manusia itu lemah, karena tidak sanggup memahami perbuatan dan ciptaan tuhan. Walaupun tuhan bersifat imateri dengan kekuasannya tidak mustahil manusia dapat melihatnya di akhirat nanti. Mereka juga beragumentasi bahwa yang tidak dapat dilihat itu hanyalah yang tidak mempunyai wujud, yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat. Menurut mereka tuhan melihat apa yanga ada dan dengan demikian melihat diri-Nya juga. Kalau tuhan dapat melihat diri-Nya, maka ia pun dapat membuat manusia melihat Tuhan-Nya.
Dalil Al-Qur’an yang dipakai Asy’ariyah adalah surat Al-Qiyamah ayat 22-23
       
Artinya Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.* Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.









BAB III
PENUTUP

A. KESIPULAN
Iman adalah Tasdiq dalam hati atas wujud Allah dan keberadaan Nabi atau Rasul Allah. Menurut konsep ini iman dan kufur semata-mata adalah urusan hati, bukan Nampak dari luar. Jika seseorang membenarkan atau meyakini adanya Allah maka ia dapat disebut teklah beriman kepada Allah meskipun perbuatannya tidak sesuai dengan ajaran agama islam. Konsep iman ini banyak dianut oleh mazhab murjiah yang sebagian besar penganutnya adalah Jahamiyah dan sebagian kecil Asy’ariyah.
Asy’ariah memandang bahwa manusia lemah. Karena kelemahan manusia itu, ia banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Jadi menurut Asy’ariah manusia dalam perbuatannya mempunyai keterbatasan. Dalam hal ini Asy’ariah lebih dekat kepada paham jabariah. Mu’tazilah tentang kebebasan dan keterikatan Manusia. Dalam sistem teologi Mu’tazilah, manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas. Hal ini menunjukan bahwa Mu’tazilah menganut paham Qodariyah atau Free Will dan Free Act.
Bagi Mu’tazilah, sebagai yang diterangkan oleh Abd. al Jabbar, keadilan erat hubungannya dengan hak, dan keadilan diartikan memberi seseorang akan haknya. Kata kata “Tuhan Adil” mengandung arti bahwa Ia tidak dapat mengabaikan kewajiban kewajibanNya terhadap manusia.
Menurut aliran asy’ariyah, faham kewajiban tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah , tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mu’tazilah, yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya
Aliran mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat nanti karena Tuhan bersifat immateri, sedangkan mata kepala bersifat materi, yang immateri hanya dapat dilihat oleh immateri pula. Menurutnya Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti bukan oleh mata kepala, melainkan dengan mata hati. Sedangkan menurut Asy’ariah bahwa Tuhan dapat dilihat nanti di akhirat.



DAFTAR PUSTAKA

Hafidudin,Didin.2005.Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi.Syaamil.Bandung

Azra, Azyumardi. 2008. Kajian Tematik Al-Qur’an tentang Ketuhanan. Angkasa. Bandung.

http://www.quranexplorer.com/quran/

http://padepokankibuyut.wordpress.com/kumpulan-tulisan/islam-iman-dan-ihsan-sebagai-trilogi-ajaran-ilahi/


Yuk saling berkomentar memberikan masukan positif...

Post a Comment (0)
Your Ads Here

Ads middle content2

Your Ads Here