Subscribe

Your Ads Here
73745675015091643

MAKALAH PERMASALAHAN2 DALAM ILMU KALAM


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ilmu Kalam adalah salah satu yang banyak di bahas dalam banyak hal, terutama maslah-masalah yang terdapat dalam ilmu kalam yang diantaranya seputar perbedaan pendapat dari beberapa madhab tentang beberapa hal dalam ilmu kalam.
Kita juga mengenal banyak aliran yang berbeda pendapat dalam permasalahan-permasalahn dalam ilmu kalam, tapi perbedaan tersebut mempunyai dasar tersendiri baik itu dalil dari al-qur’an maupun al-hadis.
Banyak aliran teologi besar yang menyumbangkan pendapatnya dalam masalah permasalahn dalam ilmu kalam ini, diantaranya adalah Asy’ariyah. Murji’ah, maturidiah dan syiah.
Tapi jelaslah perbeadaan tersebut tida menjadikan permusuhan diatara golongan-golongan tersebut.


B. METODE PENELITIAN
Dalam menyusun makalah ini penulis melakukan metode penalitian yang diantaranya sebagai berikut :
1. Liblary research yang dimana penulis melakukan kajian dengan malihat dari sumber buku, seprti tafsir, buku PAI dan lainnya.
2. Media masa, yang dimana penulis memperoleh data dari situs website.
3. Hasil diskusi kelompok


BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP IMAN
Unsur-unsur iman terdiri dari al-tasdiq bi al-qalb; al-iqrar bi al-lisan; dan al-‘amal bi al-jawarih. Ada yang berpendapat unsur ketiga dengan istilah yang lain: al-‘amal bi al-arkan yangmembawa maksud melaksanakan rukun-rukun Islam. di dalam pembahasan ilmu tauhid/kalam, konsep iman dankufur ini terpilih menjadi tiga pendapat:
1. iman adalah Tashdiq di dalam hati. Menurut konsep ini, iman dan kufur semata-mata urusan hati, bukan terlihat dari luar. Jika seseorang sudah ashdiq (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah, ia sudah disebut beriman, sekalipun perbuatannya tidak sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Konsep Iman seperti inidianut oleh mazhab Murjiah, sebagaian penganut Jahmiah, dan sebagaian kecil Asy’ariah.
2. Iman adalah Tashdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lidah. Dengan katalain, seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akankeberadaan Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) kepercayaannya itu denganlidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatanMasalah Iman dan Kufur manusia. Yang penting tashdiq dan ikrar. Konsep iman seperti ini dianut olehsebagian pengikut Maturidiah
3. Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan, konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman. Karenaitu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep inidianut oleh Mu’tazilah, Khawarij, dan lain-lain.Dari uraian singkat diatas terlihat bahwa konsep iman di kalangan teologIslam berbeda-beda. Ada yang hanya mengandung satu unsur, yaitutashdiq, sebagaimana terlihat pada konsep pertama di atas. Ada yang mengandung dua unsur, tashdiq dan ikrar, seperti konsep nomor dua. Ada pula yang mengandung tiga unsur, tashdiq, ikrar, dan amaliah, sebagaimana konsep nomor tiga di atas.

B. KEBEBASAN DAN KETERIKATAN MANUSIA
Teori al-Kasb dikemukakan oleh Asy’ariah, sebagaimana tersebut diatas menunjukan bahwa manusia mempunyai aktivitas dalam hubungannya dengan terciptanya perbuatan. Namun demikian setelah dikemukakan bahwa Kasb itu diciptakan Tuhan, menunjukan bahwa manusia memiliki keterikatan-keterikatan.
Hal ini sesuai dengan alasan yang dikemukakan oleh Asy’ariah berdasarkan firman Tuhan dalam QS. Ash Shafaat : 96
    
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
Didalam ayat tersebut diartikan oleh Asy’ariah “apa yang kamu perbuat dan apa yang kami buat”. Dengan demikian ayat ini mengandung arti bahwa Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu.. Jadi Kasb pada hakikatnya perbuatan Tuhan sendiri.
Mu’tazilah tentang kebebasan dan keterikatan Manusia Dalam sistem teologi Mu’tazilah, manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas. Hal ini menunjukan bahwa Mu’tazilah menganut paham Qodariyah atau Free Will dan Free Act. Al-Jubba’I seorang pemuka Mu’tazilah menerangkan bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia berbuat baik atau buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Dan daya (Isthitha’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Pendapat yang sama pula dikemukakan oleh Abdul Jabbar, pemuka golongan Mu’tazilah. Ia mengatakan bahwa perbuatan manusia bukanlah diciptakan oleh Tuhan pada diri manusia tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan itu.
Maturidiah Bukhara tentang kebebasan dan keterikatan Maturidiah sebagaimana yang dikemukakan diatas terdiri dari golongan Mutaridiah Bukhara dan Maturidiah Samarkand. Maturidiah Bukhara lebih condong kepada paham Asy’ariah. Soal perbuatan manusia, Maturidiah Bukhara sebagaimana dikemukakan oleh Al-Bazdawi mengenai kehendak, daya dan perbuatan manusia nampak adanya keterikatan dengan Tuhan. Dikatakannya, untuk mewujudkan perbuatan perlu ada dua daya, manusia tidak mempunyai daya untuk menciptakan, hanya Tuhan yang dapat menciptakan, termasuk perbuatan manusia.
Maturidiah Samarkand tentang kebebasan dan keterikatan manusia. Maturidiah Samarkand dalam pendapatnya mengenai perbuatan manusia adalah juga ciptaan Tuhan. Disebutnya ada dua perbuatan, yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri adalah perbuatan manusia.

C. KEADILAN TUHAN
Masalah keadilan Tuhan ini juga dibahas oleh aliran aliran tersebut di atas, yang secara rinci adalah:
Bagi Mu’tazilah, sebagai yang diterangkan oleh Abd. al Jabbar, keadilan erat hubungannya dengan hak, dan keadilan diartikan memberi seseorang akan haknya. Kata kata “Tuhan Adil” mengandung arti bahwa Ia tidak dapat mengabaikan kewajiban kewajibanNya terhadap manusia. Dari pengertian ini dapat dinyatakan, bahwa konsep keadilan Tuhan menurut Mu’tazilah adalah bermuara pada kepentingan manusia. Ayat ayat Al Quran yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah di atas adalah ayat 47 surat Al Anbiya’,
                      
Artinya : Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) Hanya seberat biji sawipun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan.
Keadilan menurut Asy’ariyah berarti menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu pemilik mempunyai kekuatan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Dalam hal ini tidak ditemukan secara khusus ayat ayat yang dijadikan dalil oleh Asyariyah. Sebab paham keadilan Tuhan dalam pandangan Asy ariyah lebih menitikberatkan pada makna kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
Maturidiyah Bukhara’ berpendapat, bahwa keadilan Tuhan harus dipahami dalam kontek kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas Al Bazdawi menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos. Tuhan berbuat sekehendakNya sendiri. Dengan demikian posisi aliran Maturidyah Bukhara dalam menginterpretasikan keadilan Tuhan adalah lebih dekat pada aliran Asy’ariyah. Masalah dalil yang dipakai pun sama. Aliran Maturidiyah Samarkand menggaris bawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan dhalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas kejahatan kecuali dengan balasan yang seimbang dengan kejahatan itu. Tuhan tidak akan menganiaya hamba hambaNya dan juga tak akan mengingkari janji janjiNya yang telah disampaikan kepada manusia.
Aliran Maturidiyah golongan Samarkand, karena menganut paham free will dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, dalam hal ini mempunyai posisi yang dekat dengan aliran Mu’tazilah ketimbang aliran Asy’ariyah. Tetapi tendensi golongan ini untuk meninjau wujud dari kepentingan manusia melebihi dari tendensi kaum Mu’tazilah. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kekuatan yang diberikan alairan Samarkand kepada akal serta batasan yang mereka berikan kepada kekuasaan Tuhan, lebih kecil dari yang diberikan kaum Mu’tazilah. (Nasution, 1986: 24)
Abu Mansur al Maturidi berdalil atas pandangan di atas dengan firman Allah Q.S. Al-An’am, 6: 160 dan Q.S. Ali ‘Imran, 3: 9
 •  ••           
Artinya : "Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya". Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. (Q.S Al-Imran : 9)
Ayat pertama ditafsirkan al Maturidi dengan mengatakan bahwa Allah tidak membalas perbuatan jahat seseorang, kecuali dengan balasan yang setimpal dengan perbuatan jahatnya itu. Dan Allah tidak menyalahi janjiNya serta menganiaya hambaNya, lanjut al Maturidi dalam memberi tafsiran ayat yang kedua. (Yunan Yusuf, 1990: 10)

D. PERBUATAN DAN SIFAT TUHAN
Menurut aliran asy’ariyah, faham kewajiban tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah , tidak dapat diterima karenabertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan Al-ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat dan yang terbaik bagimanusia. Dengan demikian aliran asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyaikewajiban. Tuhan dapat bebuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk. Sebagaimana yangdikatakan Al-ghazali, perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (Ja’iz) dan tidak satu pun darinya yang mempunyai sifat wajib. Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan batas padakekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, mereka berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian tuhan berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian halnya dengan pengiriman rasul Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan. Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban.
Dalam hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
E. AKAL DAN WAHYU
Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumbr pengetahuan manusia tentang tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal mmpunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut. Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional, mengatakan juga kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk akan mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.
Sebaliknya aliran Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu. Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu;
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari.
Adapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat as-sajdah, surat al-ghosiyah ayat 17 dan surat al-a’rof ayat 185 :
                       
Artinya : Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan Telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?


Di samping itu, buku ushul fiqih berbicara tentang siapa yang menjadi hakim atau pembuat hukum sebelum bi’sah atau nabi diutus, menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat pembuat hukum adalah akal manusia sendiri . dan untuk memperkuat pendapat mereka dipergunakan dalil al-Qur’an surat Hud ayat 24.
Sementara itu aliran kalam tradisional mngambil beberapa ayat Al-qur’an sebagai dalil dalam rangka memperkuat pendapat yang mereka bawa . ayat-ayat tersebut adalah ayat 15 surat al-isro, ayat 134 surat Taha, ayat 164 surat An-Nisa dan ayat 18 surat Al-Mulk.


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas maka dapat di simpulkan bahwa iman adalah Tashdiq di dalam hati. Menurut konsep ini, iman dan kufur semata-mata urusan hati, bukan terlihat dari luar. Jika seseorang sudah ashdiq (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah, ia sudah disebut beriman, sekalipun perbuatannya tidak sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Konsep Iman seperti inidianut oleh mazhab Murjiah, sebagaian penganut Jahmiah, dan sebagaian kecil Asy’ariah.
Maturidiah Samarkand tentang kebebasan dan keterikatan manusia. Maturidiah Samarkand dalam pendapatnya mengenai perbuatan manusia adalah juga ciptaan Tuhan. Disebutnya ada dua perbuatan, yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri adalah perbuatan manusia.
Mu’tazilah tentang kebebasan dan keterikatan Manusia Dalam sistem teologi Mu’tazilah, manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas. Hal ini menunjukan bahwa Mu’tazilah menganut paham Qodariyah atau Free Will dan Free Act. Al-Jubba’I seorang pemuka Mu’tazilah menerangkan bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia berbuat baik atau buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri.
Keadilan menurut Asy’ariyah berarti menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu pemilik mempunyai kekuatan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik.
Maturidiyah Bukhara’ berpendapat, bahwa keadilan Tuhan harus dipahami dalam kontek kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas Al Bazdawi menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos. Tuhan berbuat sekehendakNya sendiri. Dengan demikian posisi aliran Maturidyah Bukhara dalam menginterpretasikan keadilan Tuhan adalah lebih dekat pada aliran Asy’ariyah. Masalah dalil yang dipakai pun sama. Aliran Maturidiyah Samarkand menggaris bawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan dhalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas kejahatan kecuali dengan balasan yang seimbang dengan kejahatan itu. Tuhan tidak akan menganiaya hamba hambaNya dan juga tak akan mengingkari janji janjiNya yang telah disampaikan kepada manusia.
Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal mmpunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut. Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional, mengatakan juga kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk akan mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

www.google.com

Hanafi, A. 2003. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru.

Nasir, Sahilun. A. 1994. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Yuk saling berkomentar memberikan masukan positif...

Post a Comment (0)
Your Ads Here

Ads middle content2

Your Ads Here