Subscribe

Your Ads Here
73745675015091643

Asal-Usul Desa Cijati


Sejarah
Untuk mengetahui asal-usul Desa Cijati, sangat erat kaitannya dengan kehadiran Embah Haji Siti Fatimah yang menjadi nenek moyang penduduk desa ini.
Kehadiran beliau di suatu tempat yang sekarang bernama Desa Cijati, menurut cerita orang-orang tua, kira-kira pada tahun 1690-an (Abad Ke-XVII). Beliau adalah berasal dari Demak keturunan kasepuhan dari Raden Fatah Sultan Demak. Untuk lebih jelasnya tercatat silsilah beliau sebagai berikut : (10) Siti Fatimah adalah putri (9) Nyi Langgeng Lanyi, putri (8) Pangeran Marta Singa, putra (8) Kiai Nanya Kerti, putra (4) Pangeran Waragil, putra (3) Sunan Prawoto, putra (2) Pangeran Trenggono, putra (Sultan Abdul Fatah (Raden Fatah) Sultan Demak.
Sebab musabab kehadiran Embah Haji Siti Fatimah di tempat ini ada dua variasi carita orang tua :
1. Beliau mengikuti suaminya yang bernama Embah Abdul Kodir putra Embah Abdul Muhyi Pamijahan Tasik Malaya. Mereka membuka pesantren dalam rangka menyebarkan ajaran agama Islam di suatu tempat di pinggir kali Cideres yang diberi nama Cijati.
2. Beliau berangkat dari lingkungan keraton di Demak, untuk mencari obat guna menyembuhkan penyakit kulit yang telah lama di deritanya. Penyakit itu sangat berat, belum ada seorang tabib pun yang dapat mengobatinya. Karena sudah sangat merasa kesal menderita penyakit itu, beliau bertafakur di kamarnya untuk memohon petunjuk kepada Tuhan tentang obat yang akan dapat menyembuhkan penyakitnya. Setelah beberapa lama tafakur itu dilaksanakan konon pada malam keempat puluh kebetulan malam jum’at, beliau mendapat ilapat berupa suara tanpa rupa yang menyuruh beliau agar keluar dari rumah. Di luar beliau melihat cahaya yang memancar ke langit di arah sebelah barat. Suara tanpa rupa itu menyuruh Fatimah agar mengikuti cahaya itu. Dan apabila beliau sampai di suatu tempat dan cahaya itu menghilang, di tempat itulah akan ditemukan obat penyembuh penyakitnya itu. Maka diikutinyalah petunjuk gaib itu. Ketika beliau sampai di suatu tempat di pinggir sebuah kali, hilanglah cahaya itu. Dan berhentilah Fatimah di tempat itu sesuai dengan petunjuk suara gaib dari bawah pohon-pohon jati yang besar-besar. Pada saat itu tempat tersebut masih merupakan hutan lebat. Beliau tertarik oleh air yang jernih pada itu ingin mandi untuk membersihkan diri badannya dan berwudhu. Betapa beliau tercengang ketika selesai mandi karena penyakitnya jadi sembuh dan kulitnya menjadi bersih. Air yang mujarab dan keluar dari pohon jati itu dinamainya Cai Jati (Cijati), yang kemudian menjadi nama kampung dan desa ini sampai sekarang. Adapun sumur yang berkhasiat itu dinamainya sumur Cikalamayan. Sampai sekarang sumur itu masih dianggap keramat.

Perkembangan tempat yang bernama Cijati menjadi Desa Cijati
Setelah Fatimah sembuh dari penyakitnya yang sangat menjengkelkan itu dan mengasingkan dirinya dari keramaian keraton, berkat khasiat cai jati dari sumur Cikalamayan itu, beliau berniat membenci kehidupan keraton yang penuh kemewahan tetapi mengekang dan membosankan. Itulah sebabnya beliau tidak senang mendengar bunyi gamelan yang biasa dibunyikan untuk menyemarakkan suasana keraton, dan melarang anak-cucunya membunyikannya. Siapa yang berani melanggarnya akan menanggung akibatnya.
Pada suatu hari singgahlah di pondok Fatimah seorang pemuda yang sedang berkelana berasal dari daerah Tasik Malaya yang bernama Abdul Kodir putra Embah Abdul Muhyi Pamijahan. Melihat keelokan rupa Fatimah, tertariklah hati Abdul Kodir kepadanya. Demikian pula Fatimah terhadap pemuda yang bernama Abdul Kodir.
Terungkap sebuah cerita menarik dalam kisah perkenalan Abdul Kodir dengan Fatimah. Untuk saling menjajagi ketinggian ilmu diantara mereka, Abdul Kodir meminta bara api kepada Fatimah untuk mengisap rokoknya. Disodorkanlah oleh Fatimah bara api itu kepada Abdul Kodir. Bara api itu di letakkan pada selendangnya, namun selendang tersebut tidak terbakar. Melihat kejadian itu tercenganglah Abdul kodir, dan diapun jadi tahu bahwa Fatimah itu adalah seorang gadis yang tinggi ilmunya. Kemudian Abdul Kodir pun segera mengambil bara api itu dari selendang gadis itu dengan tangannya sendiri. Tampak Abdul Kodir tidak merasa panas sedikitpun dan tangannya tidak terluka kena bara api itu. Dengan demikian tahulah Fatimah bahwa pemuda itu memiliki kesaktian dan ilmu yang tinggi. Setelah saling mengetahui kesaktian diantara mereka, terjalinlah rasa saling mencintai diantara mereka. Dan akhirnya atas kesepakatan mereka dan kesepakatan orang tua kedua belah pihak, mereka menikah untuk membangun rumah tangga yang tentram.
Setelah melangsungkan pernikahan, mereka mendirikan sebuah pesantren yang santri-santrinya berdatangan dari mana-mana. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai dua orang puteri, yaitu :
1. Nyi Soiman, dipanggil demikian karena ditikah oleh seorang yang bersama Soiman putera Embah Salamudin dari Babakan Jawa.
2. Nyi Da’i
Dari Nyi Soiman itulah Embah Haji Siti Fatimah menurunkan anak cucunya yang menjadi inti penduduk Desa Cijati dan menjadi penerus perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam melalui pendidikan Pondok Pesantren sampai sekarang.
Kesinambungan pesantren di Desa Cijati adalah berkat kesinambungan para pengasuhnya (para Kiayinya). Setelah Embah Abdul Kodir wafat di Tasikmalaya dan di makamkan di Desa Sukapancar kabupaten Tasikmalaya, pimpinan pondok pesatren di teruskan oleh menantunya yang bernama Kyai Soiman. Kemudian dilanjutkan oleh menantu Kiayi Soiman yang bernama Kyai Nurhisyam suami Nyi Ajid salah seorang puteri kyai Soiman. Beliau dari Situraja Sumedang datang ke Cijati untuk menuntut ilmu agama (mesantren) di Kyai Soiman yang kemudian dipungut menjadi menantunya. Setelah Embah Burhisyam wafat, pimpinan pesantren dilanjutkan oleh putranya yang bernama Kyai Irfa’i. Selanjutnya pengasuh pesantren disambung oleh Kyai Abdullah putera Kyai Irfa’i. Kyai Abdulloh wafat, pimpinan pesantren dilanjutkan oleh k.H. Muhammad Alwi suami Ibu Siti Hafsoh puteri Kyai Abdullah. Selanjutnya putera diasuh oleh putera K.H. Muhammad Alwi satu-satunya yang bernama K.H. Mahfudz. Kini pondok pesantren di Desa Cijati di kelola sekarang terkenal dengan sebagai desa santri (Pesantren).
Demikianlah perkembangan Cijati yang asalnya merupakan hutan lebat menjadi sebuah kampung dan kemudian menjadi sebuah desa yang kini berpenduduk sebanyak 5.000 jiwa. Cijati mulai ditetapkan menjadi desa pada zaman penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1820 M. Kuwunya yang pertama bernama Embah Ngabeui Tirta Saestu. 

Perkembangan Kehidupan Rakyat
Mengenai perkembangan kehidupan rakyat Desa Cijati dari masa ke masa tidak terdapat penonjolan-penonjolan yang menyolok tetapi tidak pula terlalu ketinggalan oleh desa-desa lain.
a. Perkembangan Bidang Ekonomi
Mula-mula rakyat Cijati hidup dari pertanian. Setelah penduduknya makin berkembang, sedangkan tanah lahan pertanian relatif tidak bertambah, mulailah mereka mencari mata pencaharian lain seperti bidang kerajinan, mencelup pakaian dengan nila yang dibuat dari pohon tarum pada zaman penjajahn Belanda dan Jepang. Waktu itu pakaian adat dibuat sendiri yang dibuat dari sekat kapas yang juga ditanam sendiri. Bekerja sebagai penjahit pakaian, kadang-kadang langsung menjualnya ke pasar. Para pengusaha penjahit jadi sampai sekarang terus berkembang. Sayang para penjahit pakaian sekarang hampir punah karena harga pakaian jadi di pasaran lebih murah daripada buatan sendiri. Sekarang sudah banyak pula yang menyelenggarakan industri kecil di rumah-rumah seperti membuat kecap, tahu, rajinan dan lain-lain.
b. Perkembangan Bidang Sosial
Dalam bidang sosial sejak dulu sudah terbina dengan baik, terutama dalam hal kegotong royongan, baik dalam peristiwa kematian, hajatan maupun membangun rumah. Tolong menolong antar sesama sangat rampak dengan tumbuhnya kelompok arisan, perkumpulan-kumpulan di tiapblok yang menyediakan alat keperluan untuk hajatan seperti piring, sendok, gelas, alat memasak, kursi, belandongan dan lain-lain.
c. Perkembangan Bidang Kebudayaan
1. Bidang Pendidikan
Mengenai kemajuan bidang pendidikan agama sudah tidak diragukan lagi, karena berdirinya desa Cijati berpangkal dari berdirinya pondok pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam dan terus berkesinambungan sampai sekarang. Pelajaran Agama disampaikan hampir di tiap langgar (tajug). Kini semakin berkembang lagi dengan telah berdirinya Madrasah Diniyah Awaliyah sejak sejak tahun 1964, disusul dengan berdirinya Yayasan Darul Falah pada tahun 1983 dan sekarang telah didirikan pula Madrasah Aliyah pada tahun 1987.
Dalam bidang pendidikan umum telah berdiri sekolah dasar 3 tahun sejak tahun 1913. sekarang telah berdiri tiga buah sekolah dasar Negeri 3 tahun yang dapat menampung semua anak usia sekolah. Pendidikan umum tingkat menegah pertama pun sudah ada, yaitu SLTPN 4 Majalengka dekat kampung Cijati. Begitu juga pendidikan umum tingkat atas telah berdiri yaitu SMU PGRI 1 Majalengka di Cijati.
2. Bidang Kesenian
Dalam bidang kesenian sejak dulu di desa Cijati belum ada yang menonjol, yang terkenal ke luar daerah.
3. Bidang Olah Raga
Olahraga yang paling disenangi masyarakat adalah sepak bola. Olahraga lain yang disenangi masyarakat adalah Volly ball, hampir di setiap blok ada lapangan Volly ball beserta klubnya.

Pantangan atau Tabu
Ada dua hal yang dianggap tabu (pantangan) yang masih di pegang teguh oleh sebagian besar penduduk Desa Cijati.
1. Kesenian menggunakan alat-alat gamelan
Kesenian yang menggunakan alat-alat gamelan seperti wayang baik wayang kulit maupun wayang golek yang lengkap dengan nagayannya. Fatimah apabila mendengar suara gamelan hatinya merasa risih pedih serasa tersayat sembilu. Karena itulah beliau melarang anak cucunya menyelenggarakan hiburan yang menggunakan gamelan secara lengkap. Barang siapa yang berani melanggarnya dia harus menganggung akibatnya.
2. Memiliki atau memelihara kuda yang berbulu hitam
Asal-usul penduduk Cijati dilarang memiliki atau memilihara kuda berwarna hitam adalah sebagai berikut :
konon kabarnya Embah Haji Siti Fatimah itu ketika mudanya memiliki rambut yang panjang, bila terurai akan sampai ke tanah. Bila beliau menyisir rambutnya setelah keramas, harus menggunakan gelah sebagai penyangganya agar tidak terurai ke tanah.
Pada suatu hari ketika Embah Haji Siti Fatimah sedang menyisir rambutnya, tiba-tiba kuda peliharaannya yang berwarna hitam keluar dari kandangnya dan berlari-lari kesana-kemari, hingga menabrak galah penahan rambutnya tersebut, sehingga rambutnya menjadi kusut sukar dibereskan lagi. Karena marahnya keluarlah ucapan sumpah dari mulutnya yang berbunyi :
“Sumpah tujuh turunan kepada anak cucu janganlah memelihara kuda yang berwarna hitam”.
Dua macam tebu diatas masih di pegang teguh oleh sebagian besar orang Cijati terutama keturunan Embah Haji. Yang berani melanggarnya biasanya ada saja diakibatkan jelek. Apakah hal itu menunjukkan bahwa tebu itu memang masih benar-benar angker ataukah hanya karena sugenti psykologis belaka? Wallahu a’lam, hanya Allah Yang Maha Mengetahui. 


NB : "Semua isi blog boleh di share asal cantumkan sumber dan tidak merubah/menghilangkan link adf.ly nya kecuali file di reupload ulang oleh anda"

1 Comment

Yuk saling berkomentar memberikan masukan positif...

Post a Comment (1)
Your Ads Here

Ads middle content2

Your Ads Here