Subscribe

Your Ads Here
73745675015091643

makalah al-manzila baina al-manzilatain


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Para peneliti berbeda pendapat mengenai penamaan kaum Mu'tazilah dengan sebutan Mu'tazilah. Perbedaan pendapat itu begitu tajam, sehingga Mu'tazilah sendiri menjelaskan pola pikir mereka dengan panjang lebar. Penamaan tersebut erat kaitannya dengan banyak permasalahan sejarah yang sempat menggemparkan dunia Islam dalam waktu cukup lama. Setiap peneliti berusaha mengemukakan pandangan-pandangan mereka yang berkaitan dengan asal usul munculnya kaum Mu'tazilah, dasar-dasarnya dan karakteristiknya yang spesifik.
Kalau kata I'tizaal secara bahasa berarti meninggalkan, menjauh, dan memisahkan diri. Maka secara istilah kata ini bisa diartikan bermacam-macam sesuai dengan interpretasi dari para peneliti itu sendiri.
Patut dipertimbangkan juga pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa nama Mu'tazilah yang diberikan oleh Ahli Sunnah kepada mereka, berkaitan dengan kasus menyingkirnya Washil bin 'Atha al-Ghazzal dari forumnya Hasan al-Bashri ketika memanasnya perdebatan seputar tempat kembalinya pelaku dosa besar. Kasus ini sempat meerepotkan pikiran umat Islam pada massa itu. Bahkan mengalahkan perhatian terhadap masalah Imamah seperti pertumpahan darah dan pertentangan-pertentangan yang menakutkan antar umat Islam sendiri. Akibatnya umat Islam terpecah-pecah menjadi berbagai macam aliran yang satu sama lainnya saling mengkafirkaan dan memurtadkan. Kemungkinan besar penyebab yang membuat umat Islam terpecah-pecah ke dalam berbagai kaum, sumbernya adalah fitnah yang pertama.
Prinsip Al-Manzilah baina al-Manzilatain ini sangat penting yang karenanya Wasil bin! Ata' memisahkan diri dari Hasan Basri. Wasil memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik, tidak mukmin tidak pula kafir, tetapi fasik. Jadi kefasikan adalahsuatu hal yang berdiri sendiri antara iman dan kafir. Tingkatan orang fasik di bawah orang mukmin dan di atas orang kafir


BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah berdirinya Muktazilah
kata Mu’tazilah berasal dari kata ‘uzlah dengan kata kerja ‘azala, ya’zilu (mencabut, memisahkan diri). Pendirinya bernama Wasil bin Atha’ (79H/699M-139H/748M) Ia keluar dari majelis pengajian di masjid Kufah dibawah bimbingan al-Hasan al-Basri, ke pojok lain didalam masjid itu. Keluarnya Wasil didahului oleh ketidakpuasannya atas jawaban gurunya dalam masalah kedudukan mukmin yang melakukan dosa besar.
Kaum muktazilah menjauhkan diri (i’tazala) dari kesepakatan kaum muslimin pada msa-masa awal bahwa pelaku dosa besar dihukum sebagai fasik. kesepakatan atas status kefasikan itu mereka gugat setelah kaum khawarij memandang pelaku dosa besar sebagai kafir, sementara kaum murjiah menganggapnya tetap mukmin
Sejak 100H/719M secara perlahan kaum mu’tazilah mulai mempengaruhi kalangan masyarakat luas dan mencapai puncak kejayannya pada masa kekuasaan DInasti Abbasiyah tertutama pada masa khalifah al-Makmun (813-833M), al-Mu’tasim (833-842M), dan al-Wasiq (842-844M), Khalifah al-Makmun tidak segan-segan menyebarkan paham Mu’tazilah ini dengan kekerasan. bagi para ulama yang dianggap sebagai penentang paham Mu’tazilah, ia melakukan mihnah (ujian keimanan) melalui penyiksaan fisik, contohnya kepada ahmad bin Hambal (164H/780M-241H/855M) dan sejumlah tokoh sunni lainnya[6]
Salah satu aliran dalam teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal adalah muktazilah. Ciri utama yang membedakan antara aliran ini dengan aliran-aliran teologi Islam lainnya adalah pandangan-pandangan mereka lebih banyak didasarkan kepada dalil-dalil akal (‘aqliyyah) dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Muktazilah didirikan oleh Washil bin ‘Atha, pada tahun 100 H / 718 M di Basra, dan ia merupakan tokoh perintis aliran ini.
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap pertentangan antara aliran Khawarij dan Murjiah mengenai soal orang mukmin yang melakukan dosa besar. Menurut kaum Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat itu, Washil bin ‘Atha yang ketika itu menjadi murid Hasan al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahului gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menepati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi diantara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan daripada siksaan ke atas orang kafir. Demikianlah pendapat Washil, yang kemudian salah satu doktrin Muktazilah, yaitu al-Manzulah baina al-Manzilatain (kedudukan diantara dua kedudukan).
Setelah menyatakan pendapatnya , Washil bin ’Atha meninggalkan perguruan Hasan al-Basri lalu membentuk kolompok sendiri. Kelompok inilah yang menjadi perintis Muktazilah. Setelah Washil memisahkan diri, Hasan al-Basri berkata: I’tazala ’anna Washil (Washil menjauhkan/mengasingkan diri dari kami). Ia juga didukung oleh ’Amr bin ’Ubaid (seorang gembong Qadariyyah di Basra).
Menurut Syahristani (w. 548 H) dalam al-Milal wa al-Nihal bahwa daripada kata i’tazala ’anna itulah lahirnya istilah Muktazilah yang berarti orang yang memisahkan diri. Pendapat lain menyatakan bahwa kata Muktazilah memang berarti memisahkan diri, tetapi tidak selalu bermaksud memisahkan diri secara fisikal. Muktazilah dapat berarti memisahkan diri daripada pendapat-pendapat yang berkembang sebelumnya, karena memang pendapat muktazilah berbeda dengan pendapat sebelumnya. Adapun kelompok lawan mereka biasa menjuluki kelompok ini sebagai golongan Free Will dan Free Act, karena mereka menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat.
Adapun kaum orientalis menyatakan bahwa penamaan mereka dengan Muktazilah oleh karena mereka adalah orang-orang yang bertaqwa dan zuhud di dunia. Mereka melepaskan diri dari sifat keduniaan. Namun pendapat ini lemah, karena di antara kaum Muktazilah ada yang berbuat kebaikan kepada Allah seperti Abu Bakar bin al-Asham dan ada yang bermaksiat.
Muktazilah telah muncul pada masa khilafah Bani Umayyah. Namun aliran ini tidak mendapat simpati umat Islam pada masa tersebut. Umat Islam juga tidak melakukan tindakan ekstrim dan tidak melakukan perlawanan fisik terhadap kaum Muktazilah ketika itu, karena mereka tidak menimbulkan kegelisahan bagi kalangan umat Islam. Melainkan mereka adalah sebuah kelompok dengan fokus aktivitas berupa dialektika, pengembangan pemikiran ilmiah dan pengembangan rasional saja yang tidak memberikan pengaruh terhadap perpolitikan bani Umayyah.
Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama di kalangan intelektual pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun[4], pemimpin Abbasiah (198-218 H/ 813-833 M). Kedudukan Muktazilah menjadi semakin kokoh setelah al-Ma’mun menyatakannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan falsafah.
Pemahaman Muktazilah masih menjadi pegangan dan mazhab bagi pemerintahan khalifah al-Mu’tashim billah (218-228 H/833-842M) dan al-Watsiq billah (228-232 H/842-847 M), namun pada masa khalifah al-Mutawakkil ’Ala al-Allah (232 H/847 M-247 H/861 M), dominasi aliran Muktazilah menurun dan menjadi semakin tidak simpatik di mata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al-Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab Muktazilah sebagai mazhab resmi negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah.
Dalam perjalanan selanjutnya, kaum Muktazilah muncul kembali di zaman berkuasanya dinasti Buwaihi di Bagdad. Akan tetapi kesempatan ini tidak lama, karena Bani Buwaihi digulingkan Bani Seljuk yang pemimpinnya cenderung pada Asy’ariyah. Selama berabad-abad kemudian, Muktazilah tersisih dari panggung sejarah, yang mempercepat hilangnya aliran ini antara lain adalah buku mereka tidak lagi dibaca dan dipelajari di perguruan Islam. Namun sejak awal abad ke-20 berbagai karya Muktazilah kembali muncul, dan pemahaman-pemahamannya pun menebar ke berbagai negara-negara mayoritas muslim, seperti Indonesia.

B. Tokoh-Tokoh Awal Muktazilah

Aliran Muktazilah melahirkan banyak pemimpin dan tokoh-tokoh penting. Karena pusat pengembangan Muktazilah berada di Basra dan Baghdad, pemimpin-pemimpinnya pun terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok Basra dan Baghdad.
Pemimpin-pemimpin yang tergolong dalam kelompok Basra:

1. Washil bin ’Atha (80-131 H/ 699-748 M)
2. Amr bin Ubaid (w. 143 H)
3. Usman al-Thawil
4. Hafsh bin Salim
5. Khalid bin Shafwan (w. 133 H)
6. Abu Huzail al-‘Allaf (135-235 H)
7. Mu‘ammar bin ‘Abbad (w. 220)
8. al-Nazzam (185-231 H)
9. Bisyr al-Mu’tamir (w. 210 H) yang nantinya beliau sebagai pendiri ajaran Muktazilah di Baghdad.
10. al-Jahizh Abu Usman bin Bahar (w. 256)
11. Abu Ali al-Jubba’i (235-303 H)
12. Abu Hasyim al-Jubba’i (277-321 H)

Sedangkan para pemimpin kelompok Baghdad antara lain:

1. Bisyr al-Mu’tamir (w. 210 H)
2. Jakfar bin Harb
3. Abu Musa al-Murdar (w. 226 H)
4. Tsumamah bin Asyras (w. 213 H)
5. Ahmad bin Abi Du’ad (w. 240 H)
6. Al-Iskafi (w. 240 H)
7. Hisyam bin Amir al-Fuwati
8. Abu al-Husain al-Khayyat (w.290 H)

C. Al-Ushul al-Khamsah
Al-Ushul al-Khamsah terdiri dari lima prinsip yang disebutkan secara urut oleh al-Qadhi Abdul Jabbar; Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’du wa al-Wa’id, al-Manzilah baina al-Manzilatain dan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar. Namun urutan ini belum menjadi konsesus dan bila merujuk pada kronologi sejarah, maka al-Manzilah baina al-Manzilatain ditempatkan pada posisi pertama, lima prinsip ini kemudian disempurnakan oleh ulama-ulama Mu’tazilah seperti Abu Huzail al-‘Allaf, Ja’far bin Harb, Qadhi Abdul Jabbar dan yang lainnya. Walau demikian, semua tokoh Mu’tazilah bersepakat bahwa barang siapa tidak mempercayai salah satu prinsip, atau mengurangi atau menambahi kelima prinsip di atas, maka tidak layak digolongkan sebagai Mu’tazilah.
Al-Khayyath al-Mu’tazili berkata: “Dan tidak ada seorang pun yang layak diberi label I’tizal sehingga ia mengumpukan ushul al-khamsah; al-Tauhid, al-Adl, al-Wa’du wa al-Wa’id, al-Manzilah baina al-Manzilatain dan Amar Ma’ruf Nabi Mungkar dalam dirinya”.
Selanjutnya kami paparkan penjelasan al-Ushul al-Khamsah tersebut dan kemudian kami paparkan secara ringkas mazhab Ahlu al-Sunnah sehingga semakin jelas perbedaan antara mazhab Ahlu al-Sunnah dengan mazhab Mu’tazilah.

D. Al-Manzilah baina al-Manzilatain

Al-Manzilah baina al-Manzilatain, ajaran ini merupakan ajaran dasar pertama yang lahir di kalangan Muktazilah. Ini adalah satu istilah khusus yang digunakan oleh kaum Mu’tazilah untuk merespon fenomena yang terjadi ditengah-tengah masyarakat pada masa pemerintahan Amirul Mukmini Ali bin Abi Thalib. Yakni ketika terjadi selisih paham antara kaum khawarij dan Murjiah menyangkut perkara kafir dan mengkafirkan orang muslim yang kedapatan telah melakukan dosa besar (fasik).
Bagi kaum khawarij, mereka yang fasik itu (para pendosa) bisa digolongkan kedalam orang-orang yang kufur, oleh karena itu mereka sama saja dengan orang kafir. Atau tegasnya, menurut kaum khawarij mereka itu adalah kafir.
Sebaliknya, menurut kelompok murjiah, sepanjang imannya masih utuh walaupun seseorang telah melakukan kejahatan dan berdosa besar maka dia masih tetap dianggap orang muslim. Alasan kelompok ini sederhana saja, bahwa urusan hati siapa pula yang tahu? Dan iman adalah urusan hati. Jadi sepanjang hatinya masih beriman maka dia adalah tetap orang muslim.
Kaum Mu’tazilah tampil ditengah-tengah mereka dengan mengatakan bahwa untuk perkara seperti itu maka manzilah wal manziltain- lah dia. Orang yang melakukan perbuatan dosa besar itu adalah ada diantara dua posisi, yakni antara kafir dan muslim. Orang yang melakukan perbuatan fasik itu bukanlah termasuk kedalam golongan kaum muslimin dan bukan pula termasuk kedalam golongan kafir, mereka ada diantara dua posisi itu.
Konsep Al Manzilah baiyna al Manzilatain

Hubungan erat antara munculnya kaum Mu'tazilah dengan konsep Manzilatain ini adalah karena konsep dasar yang hampir disepakati aliran Mu'tazilah.
Ajaran ini muncul setelah terjadi peristiwa antara Washil bin ’Atha dan Hasan al-Basri di Basra. Bagi Muktazilah orang yang melakukan dosa besar bukan termasuk kafir dan bukan pula mukmin, melainkan berada di antara keduanya, menempati kedudukan antara mukmin dan kafir. Orang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi karena ia telah menyimpang dari ajaran Islam, sementara itu belum pula dapat digolongkan kafir, kareana masih mempercayai Allah s.w.t dan rasulNya. Wasil memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik, tidak mukmin tidak pula kafir, tetapi fasik. Jadi kefasikan adalah suatu hal yang berdiri sendiri antara iman dan kafir. Tingkatan orang fasik di bawah orang mukmin dan di atas orang kafir. jalan tengah ini diambilnya dari:

1. Ayat-ayat Quran dan hadis-hadis yang menganjurkan kita mengambil jalan tengah dalam segala sesuatu.
2. Pikiran-pikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa ke-utamaan (fadilah; virtue) ialah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.
3. Plato yang mengatakan bahwa ada suatu tempat diantara baik dan buruk.

Golongan Muktazilah memperdalam jalan tengah tersebut sehingga dijadikannya suatu prinsip rasionalis-etis filosofis, yaitu pengambilan jalan tengah antara dua ujung-nya yang berlebih-lebihan.
Golongan Muktazilah membagi maksiat kepada dua bagian, yaitu besar dan kecil. Maksiat besar dibagi dua:
1. Yang merusak dasar agama, yaitu syirik (memperse-kutukan Tuhan) dan orang yang mengerjakannya menjadi kafir.
2. Yang tidak merusak dasar agama, dan orang yang mengerjakannya bukan lagi orang mukmin, karena ia melanggar Agama, juga tidak menjadi kafir, karena ia masih mengucapkan syahadat. Karenanya ia menjadi fasik.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-Manzilah baina al-Manzilatain prinsip ini didasarkan pada al-qur’an surat al-isra ayat 110 yaitu:
        •                
Artinya Katakanlah: "Serulah Allah atau Serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru, dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu".

Dan dalil dari hadis “ Khair al-umru atsathuha” (sebaik-baiknya perkara adalah yang ditengah-tengah)

Kaum Mu’tazilah tampil ditengah-tengah konfilka antara khawarij dan murjiah dengan mengatakan bahwa untuk perkara seperti itu maka manzilah wal manziltain- lah dia. Orang yang melakukan perbuatan dosa besar itu adalah ada diantara dua posisi, yakni antara kafir dan muslim. Orang yang melakukan perbuatan fasik itu bukanlah termasuk kedalam golongan kaum muslimin dan bukan pula termasuk kedalam golongan kafir, mereka ada diantara dua posisi itu.
Hasan al-Bashri mempunyai forum yang membuka konsultasi bagi kaum muslimin, mengajarkan agama kepada mereka, menjelaskan masalah-masalah yang ditetapkan Al-qur'an dan Sunnah, memberikan fatwa kepada yang bertanya tentang berbagai masalah yang merepotkan umat atau sesuatu yang bisa memperbaharui kehidupan agama mereka khususnya dan perkara-perkara keduniawian pada umumnya. Suatu saat, seseorang bertanya kepadanya : "Wahai Pemimpin Agama! Pada masa kita ini telah muncul orang-orang yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka adalah golongan Khawarij. Ada juga kaum yang menangguhkan terhadap pelaku dosa besar. Mereka adalah kaum Murji'ah. Bagaimana kami menyikapi hal ini?". Maka Hasan al-Bashri mulai memikirkan pertanyaan tersebut. Sebelum beliau sempat menjawabnya, Washil bin 'Atha, salah satu muridnya yang cerdas, berkata : "Menurut saya tidak demikian. Pelaku dosa besar itu bukan mukmin sebenarnya dan tidak benar-benar kafir. Ia berada dalam satu tempat di antara dua tempat (al-Manzilah baiyna manzilatain), tidak mukmin dan tidak kafir. Masalah inilah yang membuat Hasan al-Bashri marah dan mengusir Washil bin 'atha dari forumnya. Hal ini pula yang membuat Washil bin 'Atha menyingkir. Kemudian ia menuju ke sekumpulan orang yang berada di masjid Bashrah untuk mengikrarkan pendapatnya. "Amr bin Ubaid dan beberapa orang lainnya menyepakati pendapatnya. Dari sinilah mereka berdua dan orang-orang yang mengikutinya disebut Mu'tazilah, karena mereka menyalahi umat Islam tidak mukmin dan tidak kafir.

Yuk saling berkomentar memberikan masukan positif...

Post a Comment (0)
Your Ads Here

Ads middle content2

Your Ads Here