Subscribe

Your Ads Here
73745675015091643

makalah pertanian

PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian pada dasarnya adalah proses transformasi pertanian, yaitu suatu proses perubahan pada berbagai aspek di bidang pertanian. Perubahan tersebut tidak hanya berupa mekanisasi dan teknologi namun lebih jauh lagi pada kelembagaan ekonomi dan sosial pertanian. Sebagai negara agraris, sebagian besar penduduk pedesaan di Indonesia menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Dengan demikian proses transformasi pertanian dapat dikatakan sebagai proses transformasi pedesaan. Proses ini menyentuh seluruh lapisan masyarakat di penjuru Indonesia.
Indonesia adalah sebuah negara majemuk. Kemajemukan ini ditandai oleh adanya suku-suku bangsa yang tentunya masing-masing mempunyai budaya yang berbeda. Suku bangsa ini seringkali dikatakan sebagai kelompok etnik. Barth (1969), menyatakan bahwa pada umumnya kelompok etnik dikenal sebagai populasi yang secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan.
Masyarakat Samin dengan berbagai tradisi dan budayanya serta memiliki ciri-ciri yang diungkapkan oleh Barth, bisa dikatakan salah satu kelompok etnik yang ada di Indonesia. Bahkan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah telah mengakui masyarakat Samin ini sebagai salah satu kelompok etnik yang ada di Jawa Tengah dari empat etnik yang ada. Komunitas Samin ialah sekelompok orang yang mengikuti ajaran Samin Surosentiko yang muncul pada masa kolonial Belanda. Pada masa lalu masyarakat Samin dapat diidentifikasikan sebagai masyarakat yang ingin membebaskan dirinya dari ikatan tradisi besar yang dikuasai oleh elit penguasa.
Masyarakat Samin sebagai salah satu kelompok etnik yang ada di Indonesia tentu memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Di usia yang sudah satu abad lebih ini masyarakat Samin sudah mengalami perubahan pada pranata sosial dan kebudayaan yang selama ini mereka anut. Tradisi Saminisme sekarang sudah berubah, artinya Saminisme sudah bukan lagi menjadi kebanggaan dalam struktur sosial diamana mereka hidup. Apabila ditinjau dari sistem nilai, Saminisme sudah tidak lagi menjadi aturan dalam pluralitas nilai yang berada di tengah-tengah mereka.
Modernisasi dalam lingkup masyarakat tradisional akan menimbulkan implikasi terhadap masyarakat tersebut. Masyarakat tradisional bagaimanapun masih menjunjung tinggi nilai-nilai yang diwarisi secara turun temurun dari nenek moyangnya dulu. Karena itu kelompok masyarakat seperti ini telah memiliki pola budaya tertentu, sedangkan modernisasi tentu akan membawa pola budaya baru bagi masyarakat tersebut yang mungkin berbeda dengan norma serta nilai yang lama.
Perumusan Masalah
Proses transformasi pertanian yang gencar dilakukan oleh pemerintah sejak lama dengan konsep revolusi hijaunya mau tidak mau juga menyentuh masyarakat Samin. Pada dasarnya pengertian modernisasi mencakup suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial menuju kearah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri negara barat yang stabil. Modernisasi adalah suatu persoalan yang harus dihadapi oleh masyarakat. Setiap manusia dalam masyarakat sangat sulit untuk lepas dari pengaruh modernisasi yang melanda dunia saat ini. Demikian pula dengan masyarakat Samin dengan segala keunikan dan keterbatasannya. Masyarakat Samin yang kini terkepung oleh kemajuan budaya di sekitarnya sudah tidak mampu lagi untuk membendung masuknya kebudayaan baru tersebut. Nilai-nilai budaya masyarakat Samin semakin tersisih dan berganti dengan nilai budaya baru. Perubahan sosial budaya ini dibatasi pada aspek tata nilai, norma dan kelembagaan pada masyarakat Samin.
Perubahan budaya yang terjadi pada masyarakat Samin tentu disebabkan oleh banyak faktor, baik faktor dari luar maupun dari dalam masyarakat sendiri. Pembangunan yang selama ini disalahkan sebagai penyebab perubahan budaya masyarakat tentu memiliki andil yang cukup besar dalam menyebabkan perubahan budaya masyarakat Samin. Pembangunan identik dengan modernisasi dengan segala dampaknya baik yang positif untuk kemajuan masyarakat maupun dampak negatif berupa hilangnya tatanan nilai dan norma budaya warisan leluhur.
Secara garis besar permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah :
1. Bagaimana transformasi pertanian yang terjadi pada masyarakat Samin?
2. Bagaimana dampak transformasi pertanian pada masyarakat Samin?
Tujuan
Tujuan tulisan ini adalah untuk :
1. Menjelaskan transformasi pertanian yang terjadi pada masyarakat Samin.
2. Menjelaskan dampak transformasi pertanian pada masyarakat Samin.
KERANGKA TEORITIS
Perspektif Tentang Perubahan
Perkembangan masyarakat seringkali dianalogikan seperti halnya proses evolusi. suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang memang telah berkembang dengan pesatnya. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan August Comte. Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat (Etzioni, 1973).
Pemikiran Spencer sangat dipengaruhi oleh ahli biologi pencetus ide evolusi sebagai proses seleksi alam, Charles Darwin, dengan menunjukkan bahwa perubahan sosial juga adalah proses seleksi. Masyarakat berkembang dengan paradigma Darwinian: ada proses seleksi di dalam masyarakat kita atas individu-individunya. Spencer menganalogikan masyarakat sebagai layaknya perkembangan mahkluk hidup. Manusia dan masyarakat termasuk didalamnya kebudayaan mengalami perkembangan secara bertahap. Mula-mula berasal dari bentuk yang sederhana kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks menuju tahap akhir yang sempurna.
Menurut Spencer, suatu organisme akan bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dan terjadi diferensiasi antar organ-organnya. Kesempurnaan organisme dicirikan oleh kompleksitas, differensiasi dan integrasi. Perkembangan masyarakat pada dasarnya berarti pertambahan diferensiasi dan integrasi, pembagian kerja dan perubahan dari keadaan homogen menjadi heterogen. Spencer berusaha meyakinkan bahwa masyarakat tanpa diferensiasi pada tahap pra industri secara intern justru tidak stabil yang disebabkan oleh pertentangan di antara mereka sendiri. Pada masyarakat industri yang telah terdiferensiasi dengan mantap akan terjadi suatu stabilitas menuju kehidupan yang damai. Masyarakat industri ditandai dengan meningkatnya perlindungan atas hak individu, berkurangnya kekuasaan pemerintah, berakhirnya peperangan antar negara, terhapusnya batas-batas negara dan terwujudnya masyarakat global.
Seperti halnya Spencer, pemikiran Comte sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu alam. Pemikiran Comte yang dikenal dengan aliran positivisme, memandang bahwa masyarakat harus menjalani berbagai tahap evolusi yang pada masing-masing tahap tersebut dihubungkan dengan pola pemikiran tertentu. Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang berdifat progresif. Sebagaimana Spencer yang menggunakan analogi perkembangan mahkluk hidup, Comte menyatakan bahwa dengan adanya pembagian kerja, masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferiansi dan terspesialisasi.
Membahas tentang perubahan sosial, Comte membaginya dalam dua konsep yaitu social statics (bangunan struktural) dan social dynamics (dinamika struktural). Bangunan struktural merupakan struktur yang berlaku pada suatu masa tertentu. Bahasan utamanya mengenai struktur sosial yang ada di masyarakat yang melandasi dan menunjang kestabilan masyarakat. Sedangkan dinamika struktural merupakan hal-hal yang berubah dari satu waktu ke waktu yang lain. Perubahan pada bangunan struktural maupun dinamika struktural merupakan bagian yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.
Berbeda dengan Spencer dan Comte yang menggunakan konsepsi optimisme, Oswald Spengler cenderung ke arah pesimisme. Menurut Spengler, kehidupan manusia pada dasarnya merupakan suatu rangkaian yang tidak pernah berakhir dengan pasang surut. seperti halnya kehidupan organisme yang mempunyai suatu siklus mulai dari kelahiran, masa anak-anak, dewasa, masa tua dan kematian. Perkembangan pada masyarakat merupakan siklus yang terus akan berulang dan tidak berarti kumulatif.
Modernisasi, Berangkar dari Perspektif Idealis
Asumsi modernisasi yang disampaikan oleh Schoorl (1980), melihat modernisasi sebagai suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Dibidang ekonomi, modernisasi berarti tumbuhnya kompleks industri dengan pertumbuhan ekonomi sebagai akses utama. Berhubung dengan perkembangan ekonomi, sebagian penduduk tempat tinggalnya tergeser ke lingkungan kota-kota. Masyarakat modern telah tumbuh tipe kepribadian tertentu yang dominan. Tipe kepribadian seperti itu menyebabkan orang dapat hidup di dalam dan memelihara masyarakat modern.
Sedangkan Dube (1988), berpendapat bahwa terdapat tiga asumsi dasar konsep modernisasi yaitu ketiadaan semangat pembangunan harus dilakukan melalui pemecahan masalah kemanusiaan dan pemenuhan standart kehidupan yang layak, modernisasi membutuhkan usaha keras dari individu dan kerjasama dalam kelompok, kemampuan kerjasama dalam kelompok sangat dibutuhkan untuk menjalankan organisasi modern yang sangat kompleks dan organisasi kompleks membutuhkan perubahan kepribadian (sikap mental) serta perubahan pada struktur sosial dan tata nilai. Tujuan akhir dari modernisasi adalah terwujudnya masyarakat modern yang dicirikan oleh kompleksitas organisasi serta perubahan fungsi dan struktur masyarakat. Secara lebih jelas Schoorl menyajikan proses petumbuhan struktur sosial yang dimulai dari proses perbesaran skala melalui integrasi. Proses ini kemudian dilanjutkan dengan diferensiasi hingga pembentukan stratifikasi dan hirarki.
Motivasi teori modernisasi untuk merubah cara produksi masyarakat berkembang sesungguhnya adalah usaha merubah cara produksi pra-kapitalis ke kapitalis, sebagaimana negara-negara maju sudah menerapkannya untuk ditiru. Proses modernisasi mencakup proses yang sangat luas yang terkadang batasannya tidak dapat ditetapkan secara mutlak. Modernisasi mencakup suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial menuju ke arah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri negara barat yang stabil (Soekanto, 1990). Karakteristik umum modernisasi yang menyangkut aspek-aspek sosio demografis masyarakat digambarkan dengan istilah gerak sosial. Modernisasi adalah suatu bentuk perubahan sosial yang biasanya merupakan perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada perencanaan. Teori modernisasi secara umum dapat diungkapkan sebagai cara pandang yang menjadi modus utama analisisnya kepada faktor manusia dalam suatu masyarakat. Modernisasi kemudian menjadi semacam komoditi di kalangan masyarakat yang menempatkan faktor mentalitas menjadi penyebab perubahan (Salim, 2002).
Pada dasarnya, modernisasi didasarkan pada perubahan sosial dalam perspektif idealis. Salah satu pemikir dalam kubu idealis adalah Weber. Weber memiliki pendapat yang berbeda dengan Marx. Perkembangan industrial kapitalis tidak dapat dipahami hanya dengan membahas faktor penyebab yang bersifat material dan teknik. Namun demikian Weber juga tidak menyangkal pengaruh kedua faktor tersebut. Pemikiran Weber yang dapat berpengaruh pada teori perubahan sosial adalah dari bentuk rasionalisme yang dimiliki. Dalam kehidupan masyarakat barat model rasionalisme akan mewarnai semua aspek kehidupan (Harper, 1989).
Weber melihat bahwa pada wilayah Eropa yang mempunyai perkembangan industrial kapital pesat adalah wilayah yang mempunyai penganut protestan. Bagi Weber, ini bukan suatu kebetulan semata. Nilai-nilai protestan menghasilkan etik budaya yang menunjang perkembangan industrial kapitalis. Protestan Calvinis merupakan dasar pemikiran etika protestan yang menganjurkan manusia untuk bekerja keras, hidup hemat dan menabung. Pada kondisi material yang hampir sama, industrial kapital ternyata tidak berkembang di wilayah dengan mayoritas Katholik, yang tentu saja tidak mempunyai etika protestan (Harper, 1989).
Harper (1989), menjelaskan bahwa Lewy sependapat dengan Weber tentang peranan ideologi dalam perubahan sosial. Lewy mengambil contoh sejarah yang menggambarkan bahwa nilai-nilai ideologi mempengaruhi arah perubahan. Dia menyebutkan adanya pemberontakan Puritan di Inggris, kebangkitan kembali Islam di Sudan, pemberontakan taiping dan bokser di China. Seperti halnya Weber, Lewy tidak menyangkal bahwa kondisi material mempengaruhi perubahan sosial. Namun demikian kita tidak dapat hanya memahami perubahan sosial yang terjadi hanya dari faktor material saja.
Perubahan Sosial dan Perubahan Kebudayaan
William F. Ogburn dalam Moore (2002), berusaha memberikan suatu pengertian tentang perubahan sosial. Ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun immaterial. Penekannya adalah pada pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial. Perubahan sosial diartikan sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.
Definisi lain dari perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya (Soekanto, 1990). Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan. Sorokin (1957), berpendapat bahwa segenap usaha untuk mengemukakan suatu kecenderungan yang tertentu dan tetap dalam perubahan sosial tidak akan berhasil baik.
Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).
Perubahan kebudayaan bertitik tolak dan timbul dari organisasi sosial. Pendapat tersebut dikembalikan pada pengertian masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat adalah sistem hubungan dalam arti hubungan antar organisasi dan bukan hubungan antar sel. Kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku, yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolik dan bukan warisan karena keturunan (Davis, 1960). Apabila diambil definisi kebudayaan menurut Taylor dalam Soekanto (1990), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, maka perubahan kebudayaan dalah segala perubahan yang mencakup unsur-unsur tersebut. Soemardjan (1982), mengemukakan bahwa perubahan sosial dan perubahan kebudayaan mempunyai aspek yang sama yaitu keduanya bersangkut paut dengan suatu cara penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya.
Untuk mempelajari perubahan pada masyarakat, perlu diketahui sebab-sebab yang melatari terjadinya perubahan itu. Apabila diteliti lebih mendalam sebab terjadinya suatu perubahan masyarakat, mungkin karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Menurut Soekanto (1990), penyebab perubahan sosial dalam suatu masyarakat dibedakan menjadi dua macam yaitu faktor dari dalam dan luar. Faktor penyebab yang berasal dari dalam masyarakat sendiri antara lain bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk, penemuan baru, pertentangan dalam masyarakat, terjadinya pemberontakan atau revolusi. Sedangkan faktor penyebab dari luar masyarakat adalah lingkungan fisik sekitar, peperangan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
ANALISIS
Dusun Jepang, Arena Pertarungan Lokalitas dan Modernisasi
Tulisan ini mengambil lokasi di Dusun Jepang, sebuah dusun yang ada di Desa Margomulyo Kecamatan Margomulyo Kabupaten Bojonegoro. Dusun Jepang dikelilingi oleh hutan yang menjadikannya agak terisolasi dari daerah sekitarnya. Letak dusun yang berada di kawasan hutan menjadikan dusun ini sulit untuk dijangkau, terlebih lagi sarana angkutan umum tidak tersedia. Keadaan ini agak terbantu dengan telah diaspalnya jalan yang menghubungkan Dusun Jepang dengan ibu kota kecamatan yang berjarak sekitar 5 kilometer. Walaupun sarana angkutan umum tidak tersedia, jalan yang telah beraspal sangat membantu mobilitas penduduk Dusun Jepang, terlebih saat ini banyak diantara penduduk yang telah memiliki motor.
Untuk mencapai Dusun Jepang dapat dikatakan sangat mudah, bahkan bagi mereka yang sama sekali belum pernah berkunjung ke daerah ini. Letak Desa Margomulyo berada di tepi jalan kabupaten yang menghubungkan Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Ngawi. Jalan inilah yang dilalui oleh angkutan umum seperti colt dan bus yang menghubungkan Ngawi dan Bojonegoro. Satu alasan lagi, yang memudahkan kita mencapai lokasi ini adalah “ketenaran” masyarakat Samin dan tentu saja Mbah Hardjo Kardi, sesepuh masyarakat Samin.
Desa Margomulyo mempunyai luas wilayah sebesar 1.309.169 hektar yang terbagi menjadi delapan dusun. Sebagian besar wilayahnya merupakan areal hutan yang dikelola oleh Perhutani. Keseluruhan luas areal hutan mencapai 54,70 persen, sedangkan sisanya merupakan lahan pertanian produktif serta daerah pemukiman. Areal pertanian produktif terdiri atas lahan tegalan sebesar 23,60 persen, lahan sawah sebesar 13,20 persen dan lahan perkebunan sebesar 1,15 persen.
Areal hutan yang dikelola oleh Perhutani menyebabkan akses penduduk sangat terbatas untuk memanfaatkan hutan. Penduduk sebatas mendapatkan ranting-ranting jati yang digunakan untuk kayu bakar serta daun jati sebagai pembungkus. Penduduk Dusun Jepang hampir seluruhnya menggantungkan hidup dari pertanian. Kondisi tanah yang kurang subur serta luas kepemilikan yang sempit menjadikan kemiskinan masih menjadi permasalahan yang membelenggu sebagian besar penduduknya.
Penduduk Dusun Jepang berjumlah 736 jiwa yang terdiri dari 202 kepala keluarga. Sebagian besar penduduk tidak pernah mengenyam pendidikan terutama bagi mereka yang telah berusia diatas 40 tahun. Jumlah penduduk yang tidak mengenyam pendidikan sebesar 42,9 persen, sedangkan penduduk yang telah berhasil menyelesaikan pendidikan hingga tingkat sekolah dasar mencapai 28,5 persen. Hanya sebagian kecil penduduk yang telah mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP dan SMA.
Secara kelembagaan, Dusun Jepang telah mempunyai beberapa jenis lembaga kemasyarakatan. Karang taruna mulai berdiri pada tahun 1999. Karang taruna ini bernama “Karya Bhakti”. Pembentukan karang taruna ini diprakarsai oleh kepala dusun setempat, dengan mengumpulkan pemuda-pemuda yang ada di Dusun Jepang. Perkembangan organisasi ini kurang begitu menggembirakan. Kegiatan karang taruna masih terbatas pada pertemuan rutin setiap bulan. Pada setiap pertemuan diadakan kegiatan menabung untuk menambah kas organisasi. Kegiatan produktif masih belum ada mengingat keterbatasan dana serta partisipasi pemuda dusun yang masih minim. Kebanyakan para pemuda lebih memilih untuk melakukan migrasi ke daerah lain, terutama ke kota besar untuk mencari pekerjaan.
Kelompok tani juga sudah lama berdiri di dusun ini. Ini tentunya tidak lepas dari kondisi politik bangsa Indonesia selama orde baru. Sejak tahun 1981 telah berdiri kelompok tani yang bernama “Panggih Mulyo”. Kelompok tani ini merupakan perwujudan formal dari paguyuban yang telah ada di dalam masyarakat Samin di Dusun Jepang. Selama era orde baru, setiap desa diwajibkan untuk membentuk kelompok tani dengan struktur organisasi yang seragam. Pemerintah pada masa itu tidak memberi kesempatan bagi kelembagaan masyarakat adat untuk berkembang maupun sekedar bertahan.
Kelompok tani “Panggih Mulyo” dipimpin langsung oleh Mbah Hardjo Kardi, sesepuh masyarakat setempat. Rasa percaya antara anggota dan pengurus menjadi modal sosial yang sangat besar dalam memajukan organisasi ini. Terlebih sifat masyarakat Samin yang mampu memegang amanah membuat banyak pihak luar yang turut berperan serta memberikan dana hibah kepada kelompok tani ini. Tidak mengherankan apabila banyak proyek pembangunan yang dilaksanakan di wilayah Dusun Jepang ini. Sedikit demi sedikit kesejahteraan masyarakat Samin akan dapat meningkat.
Kelembagaan yang berkembang hingga saat ini adalah sinoman. Sinoman merupakan organisasi non formal yang menjadi wadah pemuda desa. Kegiatan sinoman terbatas pada aktivitas yang berkaitan dengan acara hajatan. Ketika salah satu warga mempunyai hajatan, sinoman yang bertanggung jawab untuk membantu pelaksanaan hajatan tersebut.
Masyarakat Samin, Masyarakat yang Tergusur
Masyarakat Samin masih banyak dijumpai dan mereka bertempat tinggal di desa-desa dalam wilayah Kabupaten Bojonegoro dan Ngawi Propinsi Jawa Timur. Sedangkan untuk wilayah Jawa Tengah tersebar di Kabupaten Blora, Pati dan Kudus. Masyarakat Samin sebenarnya adalah etnis Jawa namun karena mereka memiliki tata cara kehidupan bahkan tradisi yang berbeda dengan masyarakat Jawa maka masyarakat Samin dianggap sebagai etnis tersendiri.
Pencetus ajaran Saminisme adalah Samin Surosentiko yang lahir di Blora pada tahun 1859. Nama asli Samin Surosentiko adalah R Kohar yang merupakan anak dari R Surowidjoyo dan cucu dari RM Brotodiningrat yang merupakan Bupati Sumoroto yang berkuasa pada tahun 1802-1826. R Surowidjoyo sejak kecil dididik di lingkungan keraton dengan segala kemewahan. Namun dalam hatinya timbul perlawanan karena mengetahui rakyatnya sengsara oleh penjajahan Belanda. Pada tahun 1840, R. Surowidjoyo meninggalkan keraton dan membentuk kelompok pemuda yang dinamakan Tiyang Sami Amin. Kelompok pemuda yang dipimpinnya ini melakukan berbagai perampokan terhadap antek-antek Belanda dan membagikan hasilnya kepada orang miskin.
Tahun 1859 lahirlah R Kohar yang kemudian melanjutkan perjuangan ayahnya dan memakai nama Samin Surosentiko atau Samin Anom. Berbagai ajaran yang menyimpang dari kehidupan wajar etnis Jawa dan pembangkangan terhadap segala kebijakan penjajah Belanda terus disebarluaskan kepada para pengikutnya. Pada tanggal 8 Nopember 1907, Samin Surosentiko ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Digul. Empat puluh hari sebelum penangkapan itu, Samin Surosentiko memproklamirkan dirinya sebagai Raja Tanah Jawa. Pada tahun 1914, Samin Surosentiko meninggal dalam pengasingannya.
Sepeninggal Samin Surosentiko, kepemimpinan Samin diwariskan kepada Suro Kidin dan Mbah Engkrek. Suro Kidin adalah menantu Samin Surosentiko, sedangkan Mbah Engkrek adalah salah seorang murid setia Samin Surosentiko. Pola kepemimpinan pada masa ini tidak lagi bersifat sentralistik namun lebih bergantung pada pemimpin lokal di masing-masing wilayah.
Generasi berikutnya adalah Surokarto Kamidin, anak dari Suro Kidin. Surokarto Kamidin merupakan pemimpin Samin generasi ke-3 dan menetap di Dusun Jepang. Surokarto Kamidin memegang kepemimpinan pada masa peralihan pendudukan Belanda dan Jepang hingga pada masa kemerdekaan. Pada tahun 1986, Surokarto Kamidin meninggal dunia dan kepemimpinan Samin di Dusun Jepang digantikan oleh anaknya, Hardjo Kardi hingga saat ini.
Transformasi Pertanian; Masuknya Teknologi
Kata transformasi diambil dari terjemahan kata transformation (Bahasa Inggris). Istilah tranform (Neufebet and Guralnik, 1988) dapat diartikan sebagai perubahan, dan tranformation dapat diartikan sebagai proses perubahan. Dalam arti yang lebih luas, transformasi mencakup bukan saja perubahan pada bentuk luar, namun juga pada hakikat atau sifat dasar, fungsi, dan struktur atau karakteristik perekonomian suatu masyarakat. Transformasi pertanian atau agribisnis di pedesaan, dapat diartikan sebagai perubahan bentuk, ciri, struktur, dan kemampuan sistem pertanian yang dapat menggairahkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan menyehatkan perekonomian masyarakat pedesaan.
Pada masyarakat pedesaan yang tingkat perkembangan ekonominya belum maju dan didominasi oleh sektor pertanian, transformasi pertaniannya sekaligus dapat dipandang sebagai cerminan transformasi masyarakat desanya. Dalam pengertian yang lebih luas yang dikaitkan dengan perekayaan sosial-budaya pedesaan, transformasi masyarakat pedesaan dapat dipandang sebagai proses modernisasi atau pembangunan (Dumont dalam Pranadji, 1999). Dalam pembangunan, sektor pertanian atau kegiatan agribisnis dapat dipandang sebagai leading sector-nya. Pranadji (1995), menjelaskan tentang transformasi ekonomi pertanian yang berciri budaya tradisional/subsisten ke yang berciri budaya modern/komersial. Tansformasi pertanian di pedesaan merupakan respon dan antisipasi terhadap tuntutan kemajuan untuk hidup lebih baik, dan globalisasi pasar.
Transformasi pertanian yang terjadi di Dusun Jepang tidak dapat lepas dari peran pemerintah, terutama orde baru. Kebijakan pemerintah yang mengedepankan pada peningkatan produksi mengharuskan untuk menggunakan berbagai teknologi. Tidak mengherankan apabila pembangunan pertanian selama orde baru begitu gencarnya, bahkan hingga pelosok pedesaan. Pembentukan kelompok tani serta berbagai program yang diarahkan untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian terutama beras menjadi salah satu aspek yang juga menyentuh masyarakat Samin.
Dusun Jepang berada pada daerah lahan kering dengan topografi berbukit, sehingga produktivitas pertaniannya rendah. Komoditas yang diusahakan antara lain padi, jagung dan kedelai. Pertanian masih bersifat semi subsisten, sebagian besar hasil panen digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan hanya sebagian kecil yang dijual ke pasar. Data produksi tidak tercatat dengan baik, namun dari hasil wawancara dapat diketahui produksi tanaman padi mencapai 4 ton per hektar, sedangkan untuk kedelai sebesar 3 ton per hektar.
Teknologi pertanian yang digunakan juga telah maju, hal ini terbukti dengan telah tersedianya beberapa mesin pertanian modern. Kelompok tani “Panggih Mulyo” telah mempunyai mesin traktor sebanyak empat unit, pompa air sebanyak sembilan unit, mesin perontok padi sebanyak satu unit dan sebuah mesin penggilingan padi. Mesin-mesin modern ini sebagian besar merupakan hasil bantuan dari pemerintah melalui proyek-proyek pembangunan pertanian yang dilaksanakan di Dusun Jepang. Mekanisasi di bidang pertanian dimulai pada tahun 1997 atas bantuan pemerintah propinsi Jawa Timur. Saat itu masyarakat Samin mendapatkan bantuan berupa satu unit traktor dan dua unit mesin pompa air.
Selain mekanisasi, pertanian yang dilaksanakan oleh masyarakat Samin juga menggunakan bahan-bahan anorganik seperti pupuk dan pestisida. Namun penggunaannya masih dalam jumlah yang terbatas. Masyarakat Samin menyadari bahwa penggunaan bahan kimia secara berlebih dapat merusak lingkungan. Untuk mencukupi kebutuhan unsur hara bagi tanaman, masyarakat Samin menggunakan pupuk kandang sebagai bahan penyubur tanah. Penggunaan pupuk kandang telah berlangsung sejak lama dan diwariskan secara turun temurun, terlebih sudah menjadi kebiasaan di daerah pedesaan apabila petani memiliki hewan ternak. Hewan ternak ini selain digunakan sebagai hewan kerja juga dijadikan sebagai tabungan pada musim paceklik.
Proses pembuatan pupuk kandang mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Pada masa lalu pembuatannya dilakukan secara sederhana tanpa penambahan bahan lain, namun kini masyarakat Samin telah mengenal bahan organik yang mampu meningkatkan mutu pupuk kandang dan mempersingkat proses pembuatannya. Pengetahuan ini diperoleh dari tenaga penyuluh lapang yang bertugas di Desa Margomulyo.
Meningkatnya produksi pertanian membawa dampak pada surplus produksi, terutama padi. Sistem pertanian subsisten lambat laun berubah menjadi semi komersil, bahkan beberapa petani telah sepenuhnya komersil. Perubahan ini membawa dampak pada pola konsumsi masyarakat Samin, terlebih arus informasi dengan derasnya masuk melalui media massa terutama televisi. Tidak mengherankan apabila pola hidup konsumtif sudah menggejala pada sebagian masyarakat Samin. Tidak sulit untuk menjumpai rumah penduduk yang telah dilengkapi oleh bebagai perabotan elektronik.
Bertahannya Kelembagaan Tradisional
Modernisasi pertanian membawa dampak pada berkurangnya kebutuhan tenaga kerja. Tenaga kerja manusia dan hewan dapat digantikan oleh mesin-mesin modern seperti traktor, pompa air dan mesin perontok padi. Ramalan Marx tentang pembentukan moda produksi kapitalis pada masyarakat Samin ternyata tidak terbukti. Konsep kepemilikan alat produksi masih tetap mempertahankan tradisi yang telah ada. Kepemilikan alat produksi didasarkan oleh kepemilikan komunitas, sehingga tidak ada satu pihak pun yang akan menjadi penguasa alat produksi. Teori kelas Marx yang menyatakan adanya pembentukan kelas baru sebagai akibat adanya teknologi tidak terjadi pada masyarakat Samin.
Masyarakat Samin tidak mengenal konsep majikan dan buruh. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses produksi pertanian dilaksanakan dengan cara-cara tradisional. Kelembagaan gotong royong berupa sambatan masih senantiasa terpelihara hingga saat ini. Kebutuhan tenaga kerja dalam bidang pertanian diperoleh dengan cara saling membantu antar rumah tangga petani secara bergiliran. Pola pengupahan dalam pertanian tidak dikenal dalam masyarakat Samin. Sebagai gantinya adalah pola saling meminjam tenaga kerja, sehingga pengeluaran berupa upah tenaga kerja digantikan juga dengan tenaga kerja. Sambatan juga dilakukan pada kegiatan selain pertanian, membangun rumah misalnya.
Sambatan ini berlangsung mulai pada masa tanam hingga panen. Khusus pada masa panen, tenaga kerja mendapatkan “upah” berupa sebagian dari hasil panen yaitu bawon. Model ini juga dapat diartikan sebagai suatu bentuk asuransi sosial masyarakat Samin. Ketika salah satu rumah tangga petani mengalami kegagalan panen maka masih dapat mengandalkan hasil bawon dari rumah tangga yang lain sebagai hasil “upah” tenaga kerja yang diberikannya.
Sistem panen terbuka dengan menggunakan bawon merupakan sistem panen terbuka. Pelaksanaan sistem panen ini dilakukan oleh hampir seluruh penduduk tergantung pada jenis komoditas dan pekerjaan. Komoditas padi, kegiatan panen didominasi oleh perempuan dengan menggunakan ketam (ani-ani) sebagai alat untuk memotong batang atas padi. Sedangkan laki-laki berperan dalam merontokkan gabah. Sedangkan untuk komoditas lainnya, peran laki-laki lebih dominan.
Setelah masuknya mekanisasi pertanian, peran perempuan pada sistem panen terbuka menjadi semakin berkurang. Penggunaan ketam digantikan oleh sabit. Teknik pemotongan batang padi juga berubah. Orientasi revolusi hijau untuk meningkatkan efisiensi produksi menyebabkan berubahnya teknik panen. Penggunaan sabit memangkas waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pemanenan, namun alat ini tidak ramah untuk perempuan. Peran perempuan pada sistem panen saat ini menjadi berkurang.
Penelitian tentang kelembagaan tradisional di pedesaan Jawa memberikan gambaran yang beragam. Ada sebagian yang masih bertahan dan sebagian lainnya telah hilang. Penelitian Roepke memberikan gambaran tentang bertahannya kelembagaan tradisional di tengah arus modernisasi. Namun demikian kelembagaan tradisional ini telah termodifikasi sedemikan rupa menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Suatu yang patut disayangkan pada tulisan ini kekurangjelian penulis dalam menggali modifikasi pola kelembagaan tradisional yang masih bertahan di masyarakat Samin tersebut.
Ketika berbicara tentang perubahan sosial, kita tidak saja membahas tentang perubahan yang terjadi. Namun lebih jauh kita juga dapat membahas mengenai ke-tidak berubah-an yang terjadi. Fenomena bertahannya kelembagaan tradisional seperti sambatan dan bawon menjadi bahan kajian yang cukup menarik. Modernisasi yang terlalu mengedepankan budaya barat sebagai patokan untuk membangun masyarakat, telah melupakan nilai-nilai kultural masyarakat dan mengaanggap kultur masyarakat sebagai penghambat pembangunan bahkan sebagai faktor yang menyebabkan keterbelakangan masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya, masyarakat Indonesia semakin terbelakang bahkan semakin carut-marut akibat masuknya budaya-budaya asing yang menghancurkan indegenous knowledge masyarakat lokal. Pemerintah secara sepihak telah memutuskan bentuk pembangunan yang dilakukan di Indonesia tanpa melibatkan masyarakat sebagai bagian dari pembangunan. Dalam hal ini, oleh pemerintah, masyarakat dijadikan obyek pembangunan bukan sebagai subyek pembangunan sehingga masyarakat tidak pernah dilibatkan secara langsung.
Masuknya beragam program pemerintah untuk mengubah kondisi masyarakat dari keadaan terbelakang menuju kepada sebuah kemajuan, menjadikan masyarakat terpaksa meninggalkan nilai-nilai kulturalnya. Pemerintah selalu menganggap kondisi masyarakat adalah sebuah kondisi yang harus mendapat pembenahan. Pembenahan yang dilakukan pemerintah terkadang menjadi negatif setelah dilaksanakan pada masyarakat yang memiliki nilai kultural yang bertolak belakang dengan program pembangunan pemerintah. Dampak yang ada di masyarakat sebagai akibat dari pembangunan, yang tidak jarang berdampak negatif, dijelaskan oleh Dove (1985) sebagai sebuah biaya yang harus menjadi tanggungan masyarakat dari pelaksanaan pembangunan dan modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah.
Transformasi Pertanian dan Gerak Penduduk; Agen Perubahan
Seperti diulas di depan, masuknya mekanisasi pertanian menyebabkan berkurangnya kebutuhan tenaga kerja per luasan lahan. Tenaga kerja manusia digantikan oleh tenaga kerja mesin atau teknologi lainnya yang lebih efisien. Fenomena ini menyebabkan semakin meningkatnya migrasi tenaga kerja pertanian ke sektor non pertanian, terutama ke kota-kota besar.
Generasi muda Samin yang telah mengenyam pendidikan seiring masuknya program pendidikan sudah tidak tertarik lagi pada sektor pertanian. Pola hidup konsumtif menyebabkan kebutuhan akan penghasilan yang besar semakin meningkat pula. Sektor pertanian dipandang sebagai sektor yang kurang menjanjikan. Tidak mengherankan apabila migrasi desa kota, bahkan migrasi internasional menjadi gejala yang umum pada generasi muda Samin. Kebanyakan mereka bekerja di kota-kota besar di sekitar Bojonegoro. Tidak jarang pula kini ditemui generasi muda Samin bekerja di sektor pemerintahan. Bahkan salah satu anak laki-laki dari Mbah Hardjo Kardi bekerja sebagai PNS di kantor kecamatan Margomulyo.
Peran migran dalam perubahan sosial pada masyarakat Samin sangat besar. Migran dapat berperan sebagai agen perubahan dengan membawa nilai-nilai baru yang mereka peroleh dari tempat mereka bekerja, terutama kota-kota besar. Selain peran agen perubahan tersebut, derasnya arus informasi dari luar melalui media televisi turut menyumbangkan perannya dalam perubahan sosial.
Transformasi Pertanian; Perspektif Idealis
Suatu yang menarik ketika masyarakat Samin di satu sisi menerima kehadiran teknologi di bidang pertanian, namun di sisi lainnya mereka masih tetap memegang teguh nilai-nilai tradisional yang mereka anut. Transformasi pertanian yang terjadi hanya sebatas pada cara produksi tanpa merubah struktur sosial masyarakat. Kelas-kelas sosial yang terbentuk dengan adanya tranformasi pertanian, yaitu kelas pemilik tanah dan buruh tani tidak terbentuk pada masyarakat Samin.
Pespektif idealis yang memandang proses perubahan disebabkan oleh perubahan budaya non material tampaknya lebih bisa diterima apabila digunakan untuk membedah kasus masyarakat Samin. Perubahan budaya non material yang paling tampak adalah sikap keterbukaan pada masyarakat Samin. Terlebih ketika pendidikan formal mulai masuk ke Dusun Jepang.
Nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat Samin pada masa lampau merupakan perwujudan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Samin tidak diwujudkan dalam bentuk perlawanan fisik, namun dalam bentuk pembangkangan. Masyarakat Samin menolak membayar pajak dan berlaku seenaknya ketika menghadapi Belanda. Pembangkangan ini bahkan dapat dikatakan sebagai bentuk perilaku yang nyeleneh atau kurang waras. Sebagai contoh apabila ditanya akan pergi kemana? Mereka menjawab ke depan. Dari mana? Dari belakang. Apa pekerjaanmu? Laki (bersetubuh). Jawaban yang diberikan sekilas memang sekenanya, namun apabila dikaji lebih jauh jawaban yang diberikan tetap memegang teguh prinsip kejujuran, sebuah nilai yang harus dipegang teguh oleh masyarakat Samin.
Keterbukaan masyarakat Samin mulai terjadi ketika pemerintah orde baru gencar melaksanakan program pembangunan di segala bidang. Modernisasi dipandang sebagai sebuah ide yang harus ditransformasikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Modernisasi beranggapan bahwa apabila ingin mencapai kemajuan maka nilai tradisional yang ada harus digantikan dengan nilai baru yang lebih modern. Ide dianggap sebagai sumber perubahan, namun demikian perspektif ini juga tidak menampik adanya teknologi. Modernisasi juga memperkenalkan adanya teknologi baru. Ideologi mampu menyebabkan perubahan paling tidak melalui tiga cara yang berbeda, yaitu :
1. Ideologi dapat melegitimasi keinginan untuk melakukan perubahan.
2. Ideologi mampu menjadi dasar solidaritas sosial yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan.
3. Ideologi dapat menyebabkan perubahan melalui menyoroti perbedaan dan permasalahan yang ada pada masyarakat.
SIMPULAN
Masyarakat Samin di Dusun Jepang telah mengalami banyak perubahan dan akan terus berlangsung seiring pembangunan “ala” modernisasi yang dilaksanakan oleh pemerintah. Sejauh ini perubahan yang terjadi berupa transformasi pertanian yang dicirikan oleh perubahan moda produksi dari yang semula subsisten menjadi komersialis. Transformasi pertanian yang terjadi ditandai pula dengan masuknya teknologi pertanian berupa mekanisasi pertanian. Mekanisasi pertanian atau lebih tepatnya modernisasi pertanian merupakan salah satu kebijakan pembangunan pertanian pemerintah orde baru yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian di Indonesia.
Modernisasi pertanian membawa dampak pada perubahan pola konsumsi masyarakat Samin. Gaya hidup konsumtif sudah mulai menggejala sebagai akibat sistem pertanian yang komersil. Modernisasi pertanian juga membawa dampak pada menurunnya kebutuhan tenaga kerja pada sektor pertanian. Seiring dengan modernisasi pertanian tersebut semakin banyak warga masyarakat Samin yang melakukan migrasi ke sektor non pertanian terutama industri dan jasa di kota-kota besar di sekitar Dusun Jepang. Suatu temuan yang menarik adalah tidak berubahnya sistem kelembagaan sambatan dan bawon. Sampai saat ini masyarakat Samin tidak menerapkan sistem kerja upahan pada sektor pertaniannya.
DAFTAR PUSTAKA
Barth, Frederik. 1969. Kelompok Etnis dan Batasannya. UI Press. Jakarta.
Davis, Kingsley. 1960. Human Society. The Macmillan Company. New York.
Etzioni, A. & Halevy, Eva Etzioni- (eds). 1973. Social Changes: Sources, Patterns and Consequences. Basic Books, New York.
Harper, Charles L. 1989. Exploring Social Change. Prentice Hall. New Jersey.
Moore, Wilbert E. 2000. Social Change. The Macmillan Company. New York.
Neufeldt,V. and D.B. Guralnik. 1988. Webster’s New Woprld Dictionary of American English. Webter’s New World. New York.
Pranadji, T. 1995. Wirausaha, kemitraan Dan Pengembangan Agribisnis Secara Berkelanjutan. Analisis CSIS, XIV (5): 332-343. Center of Strategic and International Studies. Jakarta.
, T. 1999. Perekayaan Sosio – Budaya Dalam Percepatan Tranformasi Masyarakat Pedesaan Secara Berkelanjutan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Schoorl, J.W. 1980. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang. PT. Gramedia, Jakarta.
Dube, S.C. 1988. Modernization and Development: The Search for Alternative Paradigms. Zed Books Ltd, London.
Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers. Jakarta.
Soemardjan, Selo. 1986. Perubahan Sosial di Yogyakarta. UGM Press. Yogyakarta.
Sorokin, Pitirim A. 1957. Social and Cultural Dynamics. Sargent. Boston.


Yuk saling berkomentar memberikan masukan positif...

Post a Comment (0)
Your Ads Here

Ads middle content2

Your Ads Here